Jumat, 03 Oktober 2014

Kencan dengan perempuan lain



Setelah 21 tahun menikah, saya tiba-tiba menemukan cara baru dalam menyalakan api cinta kami. Demikian tulis seorang pria yang ingin berbagi pengalaman. Beberapa waktu lalu istri saya mengusulkan agar saya berkencan dengan seorang perempuan lain, besok malam.

"Kamu akan mencintainya, " kata istri saya.

"Apa-apaan sih," protes saya.

"Mengapa kamu tidak ikut?" 

"Itu acara kamu berdua dia," jawab istri. 

Perempuan yang dimaksudnya adalah ibu saya yang telah menjanda selama 19 tahun belakangan ini. Saya jarang menemuinya karena kesibukan kerja dan mengurus tiga anak kami.Malam itu saya telepon ibu, mengajaknya makan malam dan nonton film. Berdua saja.

"Ada apa dengan istrimu?" kata ibu dari ujung telepon. Ibu saya adalah tipe yang selalu curiga kalau menerima telepon ditengah malam atau undangan yang datangnya tiba-tiba. Bagi dia, itu pasti akan membawa berita buruk. 

"Saya pikir, pasti akan menyenangkan kalau kita sekali-sekali ke luar berdua saja," jawab saya. 

"Ibu mau sekali," jawabnya setelah terdiam beberapa lama. 

Aha, dia masih curiga. Besok malam, sepulang kantor saya ke rumah ibu.

Dia terlihat agak senewen tapi berdandan resmi sekali. Ibu jelas telah menata rambutnya di salon, dan dia memakai gaunnya yang terbaik. Gaun yang dipakai pada pesta ulang tahun perkawinan yang terakhir ketika ayah masih hidup. Ibu menyambut saya dengan senyum lebar. "Ibu bilang ke kawan-kawan tentang rencana kita ini. Mereka semua kaget dan merasa ikut senang seperti ibu sekarang," kata ibu seraya masuk mobil. "Mereka bilang besok pagi ingin tahu ceritanya."

Kami pergi ke restoran yang agak mahal. Suasananya elegan, menyenangkan. Ibu menggandeng lengan saya ketika memasuki ruangan, persis seperti First Lady. Jalannya anggun. Saya harus membacakan daftar menu karena ibu tak bisa lagi membacanya walau dengan kacamata tebal. Ketika sedang membaca daftar itu, saya berhenti sejenak menengok ke ibu. Dia sedang memandangi saya dengan senyum kasih. 

"Dulu, ibu yang membacakan kamu daftar menu ketika kau masih kecil," katanya.

"Sekarang ibu santai saja. Giliran saya yang melayani ibu," jawab saya.

Sambil makan, kami membincangkan banyak hal sehari-hari. Tidak ada topik yang istimewa tapi obrolan mengalir saja sampai-sampai kami terlambat untuk menonton film. 

Saat mengantarnya pulang, di muka pintu ibu berkata, "Ibu mau pergi lagi dengan kamu, tapi lain kali ibu yang bayar." 

Saya setuju.

"Bagaimana kencanmu?" tanya istri saya di rumah. "Sangat menyenangkan. Lebih dari yang saya duga. Tadinya tidak tahu mau ngomong apa." 

Beberapa hari kemudian, ibu meninggal karena serangan jantung. Begitu tiba-tiba kejadiannya, saya tidak sempat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Satu minggu berlalu, sepucuk surat tiba dari restoran tempat ibu dan saya makan malam. Surat itu dilampiri kopi tanda lunas. Ada selembar kertas diselipkan di situ, tertuliskan: 

"Ibu sudah bayar makan malam kita karena rasanya tak mungkin kita makan bersama lagi. Walaupun begitu, ibu sudah bayarkan untuk dua orang, barangkali untuk kau dan istrimu. Anakku, besar sekali arti undanganmu malam itu." 

Pada detik itulah saya mengerti apa pentingnya arti bahwa kita mengatakan kepada orang-orang yang kita sayangi mengenai perasaan kita itu. Tidak ada hal yang lebih penting dalam hidup daripada Tuhan dan keluarga. Berikan waktu Anda untuk mereka, jangan sampai terlambat untuk mengatakan 'nanti'.



Sumber : 
diambil dari salah satu cerita dari buku yang berjudul “bukan untuk dibaca the most inspiring story.” Karya Deassy M. Destiani



        Teruntuk anak dan istriku tercinta. Berharap anakku akan melakukan hal yang sama terhadap bundanya kelak. Yang dengan sepenuh hati membesarkannya. Ingatlah saat bundamu rela tidur tanpa selimut demi melihatmu tidur nyenyak dengan dua selimut membalut tubuhmu. Ingatlah ketika jemari bundamu mengusap lembut kepalamu dan ingatlah ketika air mata menetes dari mata bundamu ketika ia melihatmu terbaring sakit. Mungkin sekarang masih terlalu dini untuk memberikan pesan ini kepadamu anakku. Tapi, nanti ketika engkau beranjak dewasa dan sudah memulai memiliki kehidupan sendiri. Pesan abimu janganlah engkau abaikan. 

     Maafkan aku ya Bun,...saat ini memang abi tidak banyak tahu bagaimana beratnya seorang ibu mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Abi berada jauh dan tidak bisa menemani bunda membesarkan "Imbrutt". Tapi percayalah, di tempat yang jauh ini, Abi tidak pernah lepas berdoa untuk kalian berdua. Abi berjanji akan segera kembali, berkumpul kembali dan membesarkan anak-anak kita bersama. Saat ini abi masih diberikan amanah oleh Allah untuk mengabdikan ilmu di tanah rantau ini. Abi masih harus memenuhi janji untuk mengabdi. Kuatlah disana untukku di sini. Selalu berdoa dan salam tercinta dari abi untuk anakku tercinta, dan untukmu sayangku.
 
 Istriku, memilikimu adalah hal terbaik yang pernah ku alami dalam hidup.

Selasa, 16 September 2014

Renungan hari ini

,............................................
apakah matahari bersinar berbeda kali ini
teriknya masih sama menghangatkan setiap raga penuh cita
aku lihat sekeliling juga semakin sibuk
debu asap kerikil saling berpadu dalam seni kehidupan pagi hari
terlintas roda-roda bising dan klakson mobil-mobil besar
sebesar limpahan rahmat yang Tuhan berikan di kampung minyak ini
............
menatap matahari lain dari pulau seberang
waktu serasa berjalan lebih cepat di rerantauan ini
aku tidak seharu kali ini wahai sajak
entahlah sejak kapan keinginan menulis lagi ini muncul,..

mungkinkah roman disekitarku ini yang mengusik semuanya
angan di jiwa yang menangkap ilmu kehidupan nan luas di pesisir Kalimantan
setiap kali meraba tangan kasar yang masih tersirat jelas alur sekaan keringat di tangan mereka,.
aku mengingat betapa kehidupan selalu menarik untuk diceritakan...
marilah melihatnya dari beberapa sisi 
bila perlu gunakanlah cermin jernih

Seperti itulah yang kulihat selama ini,..
di tanah inilah mereka menggali harapan dan cita yang lebih baik,..
mengharap anak-anak mereka tetap dapat makan dan melanjutkan sekolah,...
aku bahkan tidak mengerti 
apakah mereka tahu bahwa bumi mereka ini sangat kaya,..

sedang mereka yang pandai selalu berorasi atas nama keadilan
menggelikan ketika mereka sendiri nyaman menikmati kerlip lampu-lampu kota
sementara di tanah ini sering kali lampu hanya menyala setengah hari
amat sangat lucu ketika khalayak menyadari bahwa tanah inilah yang memberi mereka energi setiap harinya
kerasnya batu kerikil
sekeras kayu ulin yang menjadi penyangga rumah-rumah panggung di sini
menjadi saksi dan bukti
"percayalah saat ini kami hanya ingin terus bekerja dan bekerja"
 begitu kata mereka,...

--subie--
Muara Badak, 16 September 2014,
terinspirasi saat sedang melakukan pemeriksaan fisik MCU pada karyawan Perusahaan.

Note :

Hari ini saya bertemu dengan seorang bapak dari salah satu karyawan perusahaan subkontraktor Vico Indonesia berusia 56 tahun. Beliau memasuki ruang pemeriksaan fisik dan mengucapkan salam dengan sangat halus. Saya pun membalasnya dan mempersilahkan beliau duduk. Tidak hanya mengucapkan salam, tetapi beliau yang mendahului menjabat tangan saya, dan saya sempat terharu melihat beliau yang sangat sopan, melebihi karyawan lain yang mungkin usianya jauh di bawah beliau. Saya tertarik, kemudian saya lihat sejenak data beliau yang sudah ada di meja saya. Saya terkejut, beliau hanyalah seorang "helper". Berasal dari Sulawesi. 

Kami memulai pembicaraan hangat dan saya juga sambil meletakkan manset tensi saya ke lengan kasarnya yang legam, mungkin karena sering terpapar sinar matahari. Beliau juga menjawab setiap pertanyaan saya dengan sangat halus. Bahkan sambil merendahkan kepala. Memanggil saya dokter (Kebanyakan karyawan yang MCU dengan saya lebih sering memanggil saya dengan "mas", mungkin karena saya masih terlihat muda). Dalam hati saya berpikir, orang tua ini luar biasa.

"Tahun lalu medical check up ada masalah pak?", saya bertanya pada beliau.

"Sepertinya tidak ada dokter, tapi saya lupa karena hasilnya diambil langsung oleh perusahaan" Bapak itu menjawab.

"Ini sekarang tekanan darahnya 150/100 pak,..!". Kita obati dulu ya pak, 3 hari bapak temui saya coba kita lihat tekanan darahnya besok." Saya menjelaskan.

Tiba-tiba dia memegang tangan saya dan, menatap mata saya sayu. Memohon dengan sangat agar dibantu. 

"Dok, tolong saya dok, saya kalau ga lolos Check Medical kontrak saya tidak diperpanjang. Anak saya masih ada yang sekolah, Tolong ya Dok,..!" sambil berkaca-kaca. 

Saya lihat bajunya yang sudah kusam, dan mungkin itulah baju terbaik yang beliau persiapkan hanya untuk MCU di klinik. Kulit tangnnya hitam, legam jelas tersirat bekas keringat dan baunya yang khas. Rambutnya sudah beruban dan wajahnya telah berkeriput lebih awal, tanda selama ini dia telah bekerja keras, dan mungkin terik matahari sudah seperti rumahnya sendiri.

Jujur, permintaan tolong seperti ini bukanlah yang pertama saya terima. Selama hampir 2 tahun merantau di Kalimantan, sudah sering saya mendengar mereka minta tolong tentang hasil MCU-nya. Tentu dengan berbagai asalan dan bujuk rayu. Ada yang menggunakan alasan ekonomi, seperti bapak tadi. Ada yang bahkan mengirimkan pulsa, ada yang memberi bingkisan, dan banyak hal lainnya. Biasanya yang paling mereka takutkan adalah kondisi tekanan darahnya yang melebihi normal. 

Cukup aneh, karena mereka menganggap MCU adalah sebuah persyaratan untuk menandatangani kontrak baru dan pembuatan ID Badge, tapi tidak pernah menganggap MCU sebagai sebuah kebutuhan dan keingintahuan tentang riwayat kesehatan mereka. Yah,.. itulah kondisi masyarakat kita. Lambat laun, saya pun merasa mulai memahami kondisi mereka. Meskipun secara moril itulah tanggung jawab saya sebagai dokter untuk terus mengingatkan mereka.

Hikmah kejadian pagi ini membuat saya merasa harus sedikit bijak. Saya pun merasa bersalah pada diri sendiri dan terus memohon ampun kepada Allah SWT. Idealisme, kejujuran menjadi perisai lancip nan tajam yang mengusik rasa empati atau iba terhadap mereka para orang-orang hebat yang rela bekerja apa saja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Saya sendiri adalah produk dari orang tua tunggal yang bekerja mati-matian demi melihat anaknya sukses di kemudian hari. Saya mengalami sendiri kerasnya kehidupan dan susahnya mencari uang.

Saya telah bergaul dengan banyak orang disini, mulai dari yang masih muda sampai yang sudah sepuh. Saya sendiri mengambil intisari dari cerita kehidupan mereka di Muara Badak, daerah kaya migas ini. Daerah ini sangat kaya, dan bagi mereka, cukuplah mereka bisa diterima menjadi helper, security, driver, janitor, rigger atau pekerjaan kasar lainnya di sini. Lihatlah betapa sederhananya mereka berpikir. Tingkat pendidikan yang kurang baik disini membuat mereka seakan sudah nyaman bekerja seperti itu. Secara kasar bolehlah disebut, " Yang penting kerja mas,..!"

Berapa kali saya melakukan pemeriksaan fisik pada anak belasan tahun yang baru lulus SMA sudah melamar kerja di berbagai perusahaan di sini. Saya selalu bertanya, apakah mereka tidak ingin kuliah atau sekolah lagi ke tingkat yang lebih tinggi? dan mereka dengan mantab lebih mengingkan kerja. Tingkat kesadaran untuk berkembang lebih baik lagi memang sangat kurang disini. 

Tetapi begitulah dinamika hidup. Kejadian tadi pagi membuat saya lebih menyadari, ada banyak hal yang mungkin saya tidak tahu atau bahkan tidak mengerti dari sisi mereka. Pernah saya berdiskusi dengan salah seorang teman tentang kondisi masyarakat kita yang seperti ini. Selalu menyenangkan berdiskusi dengan kaum intelektual terlebih para mahasiswa yang saya yakin idealismenya tidak diragukan lagi. Mereka berjuang, berorasi dan berdiplomasi memperjuangkan kondisi yang bahkan mereka sendiri sebenarnya tidak pernah mengalami. Perjuangan mereka tulus, dan patut diapresiasi. Tapi, cobalah lihat sesuatu yang lebih sederhana dari sisi mereka.

Bagi para intelektual, mungkin mereka menganggap ini adalah sebuah ketidakadilan. Tapi mampirlah sejenak ke daerah-daerah untuk mengenal rakyatnya lebih dekat. Bukankah Soe Hok Gie pernah bilang, bahwa mencintai Indonesia berarti harus berarti pula mencintai rakyatnya dari dekat. "Seseorang hanya bisa mencintai sesuatu secara sehat bila dia mengenal objeknya", begitu kata Gie. Anda akan tahu bahwa apa yang anda sebut ketidakadilan saat ini terkadang adalah satu-satunya hal yang menjadi tumpuan hidup banyak keluarga disini. Bahwa menjadi helper, driver, janitor, rigger, security atau operator alat berat adalah keahlian terbaik yang bisa mereka kerjakan saat ini.

Pernah saya mendengar langsung dari mulut salah satu pekerja. Beliau mengatakan, "Kami tahu Muara Badak adalah daerah yang amat sangat kaya raya dok, Tapi kami tidak mengharapkan lebih selain lapangan kerja yang bisa kami kerjakan sesuai dengan kapasitas kami disini. Kami bukan orang pintar dok, biarlah berjalan seperti ini, asal kami masih bisa bekerja dan anak istri saya masih bisa makan dan sekolah".

Sesederhana inilah kawan. Kekayaan daerah ini dikuras habis dan hasilnya hanya sekian persen saja yang dirasakan masyarakat Muara Badak. Beginilah nasib bangsaku Bangsa Indonesia. Kali ini saya ingin memendam sedikit "nilai kejujuran" dalam menjalankan tugas sebagai dokter. Biarlah Allah saja Yang Maha Tahu tentang apa saja yang saya lakukan.


(lanjutan percakapan tadi pagi dengan sang bapak,...)

"Insya Allah saya bantu pak, tetapi bapak harus berobat dulu. Saya berikan obat untuk menurunkan tekanan darah bapak, dan saya harap bapak kembali dalam waktu 3 atau 4 hari kedepan untuk memeriksa kembali tekanan bapak. Bila sudah normal, hasil MCU nya saya keluarkan. Bila belum normal, nanti tetap saya bantu". Saya menjelasakan tentang prosedur tidak resmi yang sering saya lakukan di Klinik. 

"Makasih banyak dok, Insya Allah saya akan minum obatnya dok, Tolong saya ya dok". Bapak itu kembali menekankan nada bicaranya saat minta tolong.

Biasanya, setelah 3 hari pengobatan. Saya akan memeriksa kembali tekanan darah para karyawan. Bila sudah normal saya akan keluarkan hasil MCU nya untuk diserahkan ke Vico. Tetapi bila belum normal, saya tetap akan tulis hasilnya normal dengan perjanjian bahwa untuk kepentingan kesehatan mereka sendiri, mereka harus rutin minum obat dan memeriksakan tekanan darahnya. Saya tidak tahu apakah mereka benar-benar melakukannya atau tidak. Bila sakitpun mereka juga tidak akan dapat bekerja secara optimal. Namun bila di-pending-pun, mereka akan lebih lama menganggur, dan itu artinya mereka tidak mendapat penghasilan. Saya memutuskan untuk membantu mereka dengan cara yang saya bisa. Apakah ini salah atau benar, biarlah Allah yang tahu akan segala-galanya.


-- Cerita Pagi Ini, di Klinik BOHC --



Rabu, 09 April 2014

,....sahabat terbaik,....

senja selalu menarik hati sang pujangga
sinarnya yang kuning merona agak memerah seakan malu menampak nasib yang getir
sekawanan kaki kaki menapak bukit berpasir debu
menginjak lumpur kehidupan yang pahit
tanganku berkulit kasar bak pemecah batu
menarik dahan kering membuat jatuh daun-daun layu
terkadang hati ini berbangga akan situasi
menjalaninya serasa perih
hidup kita adalah panggung keajaiban Sang Pencipta
dengan alam sebagai latar percikan emosi para manusia
tanganku juga lembut selembut sutra
membelai angin dingin, menyusuri lembah gunung yang senyap
tanpa mampu meraih asa 
aku kira sahabat terbaik adalah kumpulan kata
keindahannya menentramkan jiwa



-suBie-


Senin, 20 Januari 2014

Gede Pangrango : Antara cinta, sahabat dan keindahan jiwa....


Semua langkah-langkah bersamamu serasa hidup mulai dimaknai...
kita lihat kawan, dengan kaki puncak-puncak tertaklukkan dan hati meninggikan ciptaan-Nya...
Diantara semangat, kerjasama, dan perasaan kesejatian terselip pemicu kebanggaan makna qolbu yang menggugah air mata keluar...
Hidup ini perlu dimaknai kawan, tidak untuk dituruti ataupun sedikit disesali...

(Kasyafani, 2013)

Sebuah kalimat indah dari seorang sahabat, mengawali sebuah cerita tentang perjalanan kami kala itu. Aku mulai membasuh wajahku dengan puing ingatan tentang waktu yang lalu. Mulai memandang langit untuk berpikir dan berdamai dengan rasa lelah. Menghantarkan kembali memori dan mulai menuliskan kembali saat ini. Menjadikannya indah dan layak untuk dikenang.

Seperti yang lalu, sebuah pendakian selalu bermakna bagiku. Aku memahaminya sebagai sebuah perjalanan hati. Di dalamnya terdapat ketenangan jiwa, kemantaban hati dalam bernuansa dengan alam yang damai, serta ketakutan diri yang alami. Seribu langkah kaki selalu bermakna dalam cinta, keberanian jiwa, dan mungkin sebuah pernyataan hidup. Kali ini, aku ingin menorehkan cinta dalam sajak berlatarkan keindahan ciptaan-Nya. Dalam balutan kabut tipis yang menerawang turun pelan-pelan di lembah kasih kata Soe Hok Gie, aku mulai bersyair dalam sunyi, dalam ingatanku yang dalam tentang Gede Pangrango yang eksotis.

Catatan pendakian kali ini berisi tentang pertemuan kembali dengan sahabat lama, dan pernyataan diri dalam cinta. Aku sendiri mendaki untuk istri dan anakku. Selain untuk menikmati kembali kecintaanku pada negeri yang indah ini, aku juga berusaha mencoba membayangkan bagaimana "Gie" melukiskan keindahan "Mandalawangi" dalam puisi cinta-nya yang mempesona. Sebuah cita-cita lama, yang akhirnya terpenuhi akhir tahun ini.

Matahari belum muncul, namun aku bergegas dari kamarku untuk segera mempersiapkan diri sebelum travel menjemputku. Pagi ini dari Muara Badak, aku akan menuju Balikpapan untuk kemudian terbang ke Jakarta. Sejenak meninggalkan kesibukan kerja untuk memenuhi janji, dan bertemu kembali dengan kawan lama.  Akhir tahun ini kami ingin mendaki Gede Pangrango. Aku sendiri, secara khusus hanya menargetkan Mandalawangi. Lembah yang selama ini ku kenal hanya dari puisi. 


Taman Nasional Gunung Gede Pangrango :

Gede Pangango

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Dengan luas 22.851,03 hektar, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan, hanya berjarak 2 jam (100 km) dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGGP, dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya.

Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah. Ketika anda hiking di kawasan TNGGP, anda dapat menikmati keindahan ekologi hutan Indonesia. (http://www.gedepangrango.org/tentang-tnggp)

Rombongan kali ini berjumlah 9 orang, termasuk aku sendiri yang berangkat dari Kalimantan. Rombongan yang lain berangkat bersama-sama dari Surabaya menuju Bandung dengan menumpang KA Ekonomi Pasundan. Aku sendiri tiba satu hari lebih awal di kota Bandung, dan mampir sejenak di rumah sahabat lama (Chandra dan Mbak Ning) di daerah Bumi Perkemahan Kiara Payung Jatinangor. Satu hari lebih awal membuatku bisa sedikit mengenal Kota Bandung, karena aku mengajak Chandra untuk mengantarkanku keliling Kota Bandung. Lumayan lah sebagai alternatif tempat wisata.

Gedung Sate

Jalan Dago

Institut Teknologi Bandung


Dari 8 orang yang berangkat, beberapa sudah kukenal akrab karena mereka adalah kawan lama. Kami sudah beberapa kali melakukan pendakian bersama dulu waktu masih kuliah. Tetapi beberapa teman, baru  kali ini kita bertemu. Inilah salah satu manfaat dalam sebuah pendakian gunung, kita dapat bertemu dengan orang baru, pribadi baru dan tentu saja relasi baru. Sepertinya ini juga bukan pendakian pertama bagi mereka. Tetapi kami semua memang baru pertama kali ini mengunjungi Gede Pangrango. Gunung yang agak ribet juga perijinannya. Hehehehehe....!!!!!

Sebenarnya pendakian akhir tahun ini boleh dibilang reuni kecil antara kami-kami yang sudah berpisah sejak lulus kuliah. Adalah Rezha teman SMA, sekaligus sahabat gunung yang sekarang mengabdikan dirinya sebagai Guru PNS di sebuah desa terpencil di Tuban. Kami melakukan beberapa pendakian di Arjuno, Semeru dan kali ini Gede Pangrango. Dalam hal ketahanan fisik dan ilmu survival, maka orang ini adalah salah satu yang terbaik. Kali ini dia mengajak serta adiknya Berryl, masih SMA kelas XII dan sepertinya tidak jauh2 dari kakaknya dulu sewaktu SMA.

Rezha and Berryl

Fawait "Al Afnan" Kasyafani, seorang yang sering menuliskan kata-kata puitis agak berbau filsafat. Kadang-kadang membingungkan dan sulit dimengerti (dalam hal ini aku dan istriku sepakat hehehe !!!) Tetapi merupakan salah satu sahabat gunung terbaik yang pernah ada. Pertama kali bertemu di Arjuno dan berlanjut ke gunung2 yang lain. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan S2 Kimia di ITS Surabaya. Seorang calon Dosen. Dalam pendakian kali ini, siapa yang tahu kalau dia akan menjadi satu diantara dua orang yang paling menjadi "Trending Topic" selama perjalanan.

Fawait
Berikutnya adalah Anang Nifsu Pradana, Adik kelas satu tingkat semasa kuliah di FK UNAIR. Seorang Analis Medis di Laboratorium Parahita Diagnostic Centre Gresik, dan seorang sahabat gunung sejati. Masih saja dengan keluhan yang sama tentang ceweknya dan bisa kusimpulkan sepertinya tidak ada perkembangan signifikan dari perjalanan cintanya. Kami mendaki gunung bersama mulai dari Gunung Lawu, Panderman dan Penanggungan. Kali ini kita akan bertemu kembali di Gede Pangrango. Kali ini Anang tidak sendiri, karena dia mengajak serta 3 orang temannya, Adi, Ferdinand dan Teguh. Sesama Analis Medis di FK UNAIR. Tiga teman baru yang sepertinya akan melakukan pendakian gunung lagi bersama kita kelak.

Suasana dalam kereta

Dalam pendakian kali ini aku mengundang adik kelas ku di FK UNAIR, Pramadita Nasution, Pend. Dokter angkatan 2011. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenalnya, tetapi dia mengenal beberapa teman dekatku sehingga mau tidak mau ya akhirnya kita kenal. Melihat kecintaanya pada gunung, mengingatkanku pada diri sendiri kala itu. Tapi setiap orang itu unik, tidak ada yang identik dan begitu juga Prama. Dia melakukan perjalanan ini dengan hati, sambil membawa misi dan keinginan akan sesuatu. Sedikit banyak satu lagi pribadi tangguh ku kenal. Teruskan perjuanganmu sampai kapanpun anak muda.

Pramadita

Kami memulai pendakian dari Jatinangor, naik bus jurusan Jakarta yang melewati puncak menuju Cibodas. Cibodas adalah salah satu pintu perijinan untuk mendaki Gunung Gede Pangrango. Malam sebelumnya, setelah lelah perjalanan dari Surabaya menuju Bandung dengan kereta, aku memang menyarankan rombongan istirahat sejenak di rumah teman yang sebelumnya kukunjungi. Chandra sebagai pemilik rumah juga tidak keberatan sehingga, kami pun bisa istirahat sejenak sebelum mendaki keesokan hari. Esoknya kita belanja logistik di pasar lokal Jatinangor, berbelanja di minimarket dan persiapan lain sebelum mendaki.

Mengenai logistik ini, aku punya sedikit cerita. Pasti kawan-kawan pendaki yang sudah berpengalaman mendaki banyak gunung juga punya pengalaman dan tentu saja pandangan yang berbeda mengenai logistik ini. Seperti kita tahu, salah satu kebodohan yang sering menyebabkan banyak pendaki mengalami kecelakaan bahkan kematian adalah manajemen logistik yang buruk, selain tentu sebab-sebab yang lain. Apalagi para pendaki pemula, anak-anak muda yang penuh tantangan, yang mendaki demi memuaskan hasrat jiwa, yang dengan persiapan apa adanya nekat mendaki gunung. Melupakan kaidah-kaidah penting dalam sebuah pendakian.

Dalam sebuah pendakian, banyak kita dapatkan para pendaki yang mendaki hanya dengan membawa mie instan. Membawa beras yang ditanak tidak sampai matang, alias masih keras. Ditambah sarden atau jenis makanan instan yang lain. Sebuah pendakian gunung merupakan sebuah kegiatan berat yang membutuhkan banyak kalori atau energi. Apa yang bisa didapatkan dari mie instan yang sifatnya sulit di cerna dan menarik air. Ini malah bisa membuat kita dehidrasi. Jenis makanan ini pula yang membuat kita seringkali tidak nafsu makan dan malah memilih tidak makan. Pada pendakian yang membutuhkan beberapa hari tentu ini adalah sebuah masalah. Tidak hanya fisik kuat yang dibutuhkan dalam sebuah pendakian, melainkan pikiran yang jernih, manajemen logistik yang baik dan tentu saja panjatan doa kepada Yang Maha Kuasa. Ingat, gunung tetaplah gunung yang penuh dengan segala misterinya.

Aku sendiri bukanlah pendaki yang tiba-tiba memahami semua ini. Aku mengalami semua fase mulai dari pertama kali aku mendaki gunung sampai akhirnya terulang pada beberapa pendakian selanjutnya. Mulai yang tidak tahu bagaimana cara packing yang baik, apa saja yang harus dibawa dan bagaimana saat kita tersesat di atas gunung. Sampai aku mulai menikmati betul kegiatan pendakian ini, aku sadar bahwa tidak sepantasnya kita mengabaikan hal-hal penting dalam sebuah pendakian, terutama dalam hal manajemen logistik.

Singkat cerita, aku memutuskan untuk mulai memasak meskipun di atas gunung. Sudah semestinya kegiatan yang menyenangkan ini disertai dengan kegiatan yang mengasyikkan pula, seperti memasak. (Maklum saya hobi memasak). Pagi itu, aku dan teman-teman membeli beberapa sayur, telur, tempe tahu dan beberapa bumbu seperti bawang lombok, tomat dan beberapa rempah-rempah. Tak lupa kita juga membawa gula garam, bumbu penyedap dan semua bahan yang diperlukan untuk memasak. Kami juga membawa nugget, sosis, cornet beef kalengan dan bahan makanan yang lain. Lihat kan, kita masih bisa memasak makanan yang tetap memenuhi standard kalori bahkan di atas gunung. Hanya masalah mau atau tidak mau.


Naik Angkot
Kami naik bus selama kurang lebih 4 jam, dan turun di pertigaan Cibodas. Dari pertigaan ini kami naik angkot untuk menuju pos lapor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perjalanan dengan angkot tidak terlalu lama, mungkin sekitar 15 menit. Sepanjang perjalanan kita disuguhi oleh banyaknya penjual bunga dan tanaman, serta penjual souvenir khas Cianjur. Sebagai informasi saja, selain sebagai pintu awal pendakian Gede Pangrango, daerah ini juga terkenal dengan kawasan wisata Kebun Raya Cibodas. Di dalamnya terdapat lapangan golf, taman bermain, dan air terjun. Sehingga selain para pendaki, daerah ini juga dibanjiri oleh pengunjung wisata lain.



Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. 
Kami katakan bahwa kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan. 
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. 
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. 
Dan mencintai Tanah Air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. 
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. 
Karena itulah kami naik gunung. 
(Soe Hok Gie) 

Sedikit semangat dari Soe Hok Gie bagi kami para pecinta kegiatan alam bebas terutama pendaki gunung. Adalah Indonesia dengan segala keindahannya yang wajib kita syukuri, dan semuanya itu tidak akan berguna kalau kita tidak mengunjunginya sendiri. Mencintai tanah air Indonesia hanya dapat diwujudkan dengan mengenal alamnya lebih dekat, dan semua ini hanya bisa terpenuhi oleh keadan fisik yang sehat, dan salah satu kegiatan yang menunjang tujuan ini adalah mendaki gunung.





Sepertinya kita terlalu sore sampai di Pos lapor, karena semua orang yang bertugas di sana sudah pulang. Jujur saja, aku baru tahu ini, kalau ada gunung yang perijinannya dijadwalkan. Lewat jam lapor, maka anda para pendaki bisa menunggu sampai besok. Pertanyaannya?? lalu bagaimana dengan kami yang datang jauh-jauh dari Surabaya, bahkan saya dari Kalimantan. Apakah kita harus menunda pendakian sampai esok hari ??. Aku adalah yang orang paling tidak setuju dengan rencana ini. Ingat kami adalah "Arek-arek Suroboyo", dan Arek-arek Suroboyo terkenal dengan "Bonek" nya. Bondo Nekat. Terus terang saja kami bisa nekat mendaki tanpa harus melapor. Tentu hal ini tidak dibenarkan, tapi kami datang jauh dari Surabaya, sangat tidak lucu hanya karena terlambat setengah jam kami harus menunda pendakian sampai esok hari. Sebenarnya banyak calo yang menawari kita untuk mengurus Simaksi (semacam surat ijin mendaki). Kami masih yakin bisa mendaki Gede Pangrango walau harus berangkat sore. Akhirnya kita memutuskan untuk mencoba tetap naik, dan melapor di Pos penjaga yang terletak lebih di atas. 

Sebenarnya Gede Pangrango baru saja berduka karena tepat sehari sebelum kita mendaki, ada insiden meninggalnya seorang siswi SMA yang mendaki bersama rombongannya. Shizuko lebih tepatnya namanya. Diduga Shizuko meninggal karena hipotermi atau kehilangan panas tubuh. Sayang sekali karena sebenarnya dia mendaki dengan jumlah rombongan yang besar ( 26 orang ) dan tidak ada yang menyadari bahwa anak ini dalam keadaan genting. Malah dikira kesurupan, padahal ini adalah salah satu tanda klinis hipotermia dimana seseorang akan mulai menurun kesadarannya. Lebih ironis lagi mendengar kabar bahwa dia ditinggal sendirian di tenda sementara teman yang lain mengejar summit. Entah berita ini benar apa tidak, yang jelas kalau ini benar maka tentu kejadian ini sungguh sangat disayangkan. 


Ketika tiba saat perpisahan janganlah ada duka, sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan.
(Kahlil Gibran)


Dari Pos pelaporan yang letaknya lebih di atas, kendala juga kami temui. Kami agak dipersulit perijinannya. Kami bertemu dengan para volunteer penjaga pos yang saya yakin juga pendaki gunung, tapi agak sombong dan arogan. Kami sama-sama mendaki gunung, kami datang jauh-jauh dari Surabaya, dan kami juga bukan tanpa ijin sebenarnya, karena SIMAKSI sudah kita kantongi hanya saja kita terlambat sampai  Cibodas. Sedikit perdebatan dan lobi-lobi akhirnya mereka mengijinkan kita dan kita bisa memulai pendakian tepat jam 5 sore. Terus terang baru kali ini aku mendapati gunung yang sangat ribet perijinannya. Meskipun pada akhirnya aku bisa memahami kenapa semua itu harus dilakukan, karena sepanjang perjalanan, kami  benar-benar disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa dan aku setuju kalau Gede Pangrango merupakan salah satu gunung terbersih yang pernah ku kunjungi.

Sore menjelang malam kami mulai berjalan pelan. Menapaki batu-batu yang tersusun rapi dan melewati rimbunan hijau daun yang sejuk. Diiringi kicauan burung yang merdu, dan senja langit yang lama-lama semakin menguning. Jalur pendakian kali ini benar-benar dapat mengobati kerinduanku akan rimba raya yang alami. Sungguh dapat mengusir kepenatan. 

Beberapa lama berjalan kami mendapati keindahan pertama dari kawasan Gede Pangrango. Sebuah Telaga. Dan bukan Telaga biasa karena telaga ini berwarna biru. Telaga ini mengandung beberapa mineral yang membuatnya nampak seperti berwarna biru. Kami beristirahat sejenak. Beberapa diantara kami mengambil gambar, beberapa yang lain hanya duduk sambil membasuh wajah dan merendam kaki. Aku sediri memilih membasuh kaki.


Aku melewati hutan-hutan
sambil memandang jauh
meletakkan sejenak penat dan rasa malas
melewati kerikil dingin
membasahi wajah ini dengan air Telaga Biru yang sendu
menenggelamkan sejenak 
sepasang kaki yang letih berjalan
menuju dahaga rindu di ujung matahari malu
yang terhampar luas bayangan mimpi dan janji-janji

(Bie, 2014)


Telaga Biru


Sampai satu jam perjalanan kami masih banyak menemui orang-orang yang sedang menghabiskan sore di kawasan ini. Jalur pendakian dibuat sangat baik untuk dapat dilewati masyarakat. Terdapat banyak muda-mudi yang mungkin sedang berpacaran dan aku kira sedang bosan dengan kehidupan kota. Rata-rata orang-orang ini mengunjungi air terjun Cibereum yang memang berada pada komplek TNGGP. Atau hanya sekedar menghabiskan sore di sebuah jalan landai, rata tersusun dari semen yang dibentuk seperti kayu, dan berada di daerah "Rawa Gayonggong". Sebuah rawa-rawa yang dikatakan juga merupakan salah satu daerah jelajah dari macan tutul dan Owa Jawa. Dari daerah ini dapat terlihat bayangan puncak dari Gunung Gede.


Rawa Gayonggong, dengan latar Puncak Gede

Lepas dari Rawa Gayonggong, suasana semakin sepi dan orang yang kami temui juga semakin sedikit. Mungkin karena senja sudah semakin dekat dan malam pun mulai menjemput kami. Guratan langit yang menguning sebelumnya pun mulai pudar tergantikan oleh gelap walau masih samar. Masih dengan suara khas daun-daun yang tertiup angin, suara-suara hewan alas, dan sahutan merdu burung-burung bebas. Kami melanjutkan perjalanan. Menerobos malam, menjemput bintang. Sambil sesekali bercanda dan beristirahat jika memang lelah. Sesekali pula kami berpapasan dengan rombongan pendaki yang turun dan akan kembali ke pos awal.

Lama tidak mendaki membuat ketahanan tubuhku tidak sekuat dulu. Punggung ini walau masih merasa sanggup membawa Carrier 60 liter tapi nafas sudah mulai berkurang. Namun kerinduan yang dalam ini mampu mengalahkan segala hal saat itu. Setelah beberapa jam berjalan dan hari yang semakin gelap. Kami yang sedari tadi berjalan akhirnya sampai pada keindahan kedua dari Gede Pangrango. Pos "Air panas".

Menakjubkan, hanya itu yang terucap dalam hati saat aku sampai pada pos ini. Di tengah dinginnya malam, dan kami harus terus berjalan untuk mendapati pos selanjutnya, tiba-tiba kami disuguhkan sebuah tempat spa alami langsung buatan Tuhan. Aku tidak melewatkan untuk sedikit berendam air panas di situ. Bahkan Rezha dan adiknya Beryl malah memutuskan untuk mandi bertelanjang bulat. Sempurna sudah malam ini, ditemani bintang yang bertaburan di langit dan aroma air panas yang sungguh mengusir lelah kami akibat berjalan beberapa jam sebelumnya. Kami memutuskan berlama-lama di tempat ini.

Hampir setengah jam di Pos Air Panas, kami melanjutkan perjalanan. Ternyata selang beberapa saat kemudian kami sampai di Shelter pertama Jalur Pendakian ini. Pos Kandang Batu. Kami istirahat sejenak, sambil berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan atau memutuskan untuk mendirikan tenda di sini. Awalnya kita memang berniat untuk mendirikan tenda di pos Kandang Badak, tapi sepertinya di sana lahan sudah penuh dengan para pendaki sehingga kami memutuskan untuk menginap di Pos Kandang Batu.


Rombongan Lengkap di Pos Kandang Batu


Pagi-pagi kami mulai bangun dan memasak untuk bekal energi perjalanan hari ini. Kami menargetkan Mandalawangi hari ini. Teoritis untuk sampai ke sana dibutuhkan waktu 3-4 jam dari Kandang Badak. Jika kami berangkat dari Kandang Batu maka mungkin waktu yang diperlukan sekitar 4-5 jam. Dari mandalawangi kami akan langsung turun dan menginap di Pos Kandang Badak. Esoknya kami akan mengunjungi Puncak Gunung Gede. 

Pagi itu kami sarapan nasi putih, sayur sawi dan kecambah, dengan lauk tempe tahu dan telur dadar. Cukup bergizi mengingat kami di atas gunung. Setelah sarapan, kami bersiap melanjutkan perjalanan dan dengan semangat pagi ini kami siap menyambut keindahan-keindahan lain dari Gede Pangrango. Sebelum berangkat, tak lupa kami berfoto dulu di Pos Kandang Batu. 

Masih dengan hijaunya daun dan suara berisik ranting pohon yang bersentuhan satu sama lain karena angin, kami menapaki jalan setapak berbatu. Terkadang landai dan tak jarang pula kami harus melawati tanjakan. Dengan beban di masing-masing punggung, kami bersuka ria menikmati alam ini. Sambil bercanda, mengolok dan sesekali menertawakan satu sama lain, perjalanan ini serasa ringan. Dan benar saja, karena sejenak saja kami berjalan dari Kandang Batu, kami kembali diistimewakan oleh satu lagi keindahan Gede Pangrango. Keindahan ketiga yang kami temui adalah sebuah Air Terjun. 

Sebuah Air Terjun yang indah, sejuk, sepi dan deras airnya benar-benar meluluhkan hati, membuat siapa saja yang mendapatinya pasti enggan melewatkan keindahan ini. Air Terjun Pancaweuluh. Aku tidak tahu artnya, tapi rasanya memang sayang untuk melewatkan air terjun ini. Aku memutuskan untuk menyusul teman-teman yang lain dan sekali lagi membasuh wajahku dengan airnya yang jernih.








Bersambung ......