Selasa, 16 September 2014

Renungan hari ini

,............................................
apakah matahari bersinar berbeda kali ini
teriknya masih sama menghangatkan setiap raga penuh cita
aku lihat sekeliling juga semakin sibuk
debu asap kerikil saling berpadu dalam seni kehidupan pagi hari
terlintas roda-roda bising dan klakson mobil-mobil besar
sebesar limpahan rahmat yang Tuhan berikan di kampung minyak ini
............
menatap matahari lain dari pulau seberang
waktu serasa berjalan lebih cepat di rerantauan ini
aku tidak seharu kali ini wahai sajak
entahlah sejak kapan keinginan menulis lagi ini muncul,..

mungkinkah roman disekitarku ini yang mengusik semuanya
angan di jiwa yang menangkap ilmu kehidupan nan luas di pesisir Kalimantan
setiap kali meraba tangan kasar yang masih tersirat jelas alur sekaan keringat di tangan mereka,.
aku mengingat betapa kehidupan selalu menarik untuk diceritakan...
marilah melihatnya dari beberapa sisi 
bila perlu gunakanlah cermin jernih

Seperti itulah yang kulihat selama ini,..
di tanah inilah mereka menggali harapan dan cita yang lebih baik,..
mengharap anak-anak mereka tetap dapat makan dan melanjutkan sekolah,...
aku bahkan tidak mengerti 
apakah mereka tahu bahwa bumi mereka ini sangat kaya,..

sedang mereka yang pandai selalu berorasi atas nama keadilan
menggelikan ketika mereka sendiri nyaman menikmati kerlip lampu-lampu kota
sementara di tanah ini sering kali lampu hanya menyala setengah hari
amat sangat lucu ketika khalayak menyadari bahwa tanah inilah yang memberi mereka energi setiap harinya
kerasnya batu kerikil
sekeras kayu ulin yang menjadi penyangga rumah-rumah panggung di sini
menjadi saksi dan bukti
"percayalah saat ini kami hanya ingin terus bekerja dan bekerja"
 begitu kata mereka,...

--subie--
Muara Badak, 16 September 2014,
terinspirasi saat sedang melakukan pemeriksaan fisik MCU pada karyawan Perusahaan.

Note :

Hari ini saya bertemu dengan seorang bapak dari salah satu karyawan perusahaan subkontraktor Vico Indonesia berusia 56 tahun. Beliau memasuki ruang pemeriksaan fisik dan mengucapkan salam dengan sangat halus. Saya pun membalasnya dan mempersilahkan beliau duduk. Tidak hanya mengucapkan salam, tetapi beliau yang mendahului menjabat tangan saya, dan saya sempat terharu melihat beliau yang sangat sopan, melebihi karyawan lain yang mungkin usianya jauh di bawah beliau. Saya tertarik, kemudian saya lihat sejenak data beliau yang sudah ada di meja saya. Saya terkejut, beliau hanyalah seorang "helper". Berasal dari Sulawesi. 

Kami memulai pembicaraan hangat dan saya juga sambil meletakkan manset tensi saya ke lengan kasarnya yang legam, mungkin karena sering terpapar sinar matahari. Beliau juga menjawab setiap pertanyaan saya dengan sangat halus. Bahkan sambil merendahkan kepala. Memanggil saya dokter (Kebanyakan karyawan yang MCU dengan saya lebih sering memanggil saya dengan "mas", mungkin karena saya masih terlihat muda). Dalam hati saya berpikir, orang tua ini luar biasa.

"Tahun lalu medical check up ada masalah pak?", saya bertanya pada beliau.

"Sepertinya tidak ada dokter, tapi saya lupa karena hasilnya diambil langsung oleh perusahaan" Bapak itu menjawab.

"Ini sekarang tekanan darahnya 150/100 pak,..!". Kita obati dulu ya pak, 3 hari bapak temui saya coba kita lihat tekanan darahnya besok." Saya menjelaskan.

Tiba-tiba dia memegang tangan saya dan, menatap mata saya sayu. Memohon dengan sangat agar dibantu. 

"Dok, tolong saya dok, saya kalau ga lolos Check Medical kontrak saya tidak diperpanjang. Anak saya masih ada yang sekolah, Tolong ya Dok,..!" sambil berkaca-kaca. 

Saya lihat bajunya yang sudah kusam, dan mungkin itulah baju terbaik yang beliau persiapkan hanya untuk MCU di klinik. Kulit tangnnya hitam, legam jelas tersirat bekas keringat dan baunya yang khas. Rambutnya sudah beruban dan wajahnya telah berkeriput lebih awal, tanda selama ini dia telah bekerja keras, dan mungkin terik matahari sudah seperti rumahnya sendiri.

Jujur, permintaan tolong seperti ini bukanlah yang pertama saya terima. Selama hampir 2 tahun merantau di Kalimantan, sudah sering saya mendengar mereka minta tolong tentang hasil MCU-nya. Tentu dengan berbagai asalan dan bujuk rayu. Ada yang menggunakan alasan ekonomi, seperti bapak tadi. Ada yang bahkan mengirimkan pulsa, ada yang memberi bingkisan, dan banyak hal lainnya. Biasanya yang paling mereka takutkan adalah kondisi tekanan darahnya yang melebihi normal. 

Cukup aneh, karena mereka menganggap MCU adalah sebuah persyaratan untuk menandatangani kontrak baru dan pembuatan ID Badge, tapi tidak pernah menganggap MCU sebagai sebuah kebutuhan dan keingintahuan tentang riwayat kesehatan mereka. Yah,.. itulah kondisi masyarakat kita. Lambat laun, saya pun merasa mulai memahami kondisi mereka. Meskipun secara moril itulah tanggung jawab saya sebagai dokter untuk terus mengingatkan mereka.

Hikmah kejadian pagi ini membuat saya merasa harus sedikit bijak. Saya pun merasa bersalah pada diri sendiri dan terus memohon ampun kepada Allah SWT. Idealisme, kejujuran menjadi perisai lancip nan tajam yang mengusik rasa empati atau iba terhadap mereka para orang-orang hebat yang rela bekerja apa saja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Saya sendiri adalah produk dari orang tua tunggal yang bekerja mati-matian demi melihat anaknya sukses di kemudian hari. Saya mengalami sendiri kerasnya kehidupan dan susahnya mencari uang.

Saya telah bergaul dengan banyak orang disini, mulai dari yang masih muda sampai yang sudah sepuh. Saya sendiri mengambil intisari dari cerita kehidupan mereka di Muara Badak, daerah kaya migas ini. Daerah ini sangat kaya, dan bagi mereka, cukuplah mereka bisa diterima menjadi helper, security, driver, janitor, rigger atau pekerjaan kasar lainnya di sini. Lihatlah betapa sederhananya mereka berpikir. Tingkat pendidikan yang kurang baik disini membuat mereka seakan sudah nyaman bekerja seperti itu. Secara kasar bolehlah disebut, " Yang penting kerja mas,..!"

Berapa kali saya melakukan pemeriksaan fisik pada anak belasan tahun yang baru lulus SMA sudah melamar kerja di berbagai perusahaan di sini. Saya selalu bertanya, apakah mereka tidak ingin kuliah atau sekolah lagi ke tingkat yang lebih tinggi? dan mereka dengan mantab lebih mengingkan kerja. Tingkat kesadaran untuk berkembang lebih baik lagi memang sangat kurang disini. 

Tetapi begitulah dinamika hidup. Kejadian tadi pagi membuat saya lebih menyadari, ada banyak hal yang mungkin saya tidak tahu atau bahkan tidak mengerti dari sisi mereka. Pernah saya berdiskusi dengan salah seorang teman tentang kondisi masyarakat kita yang seperti ini. Selalu menyenangkan berdiskusi dengan kaum intelektual terlebih para mahasiswa yang saya yakin idealismenya tidak diragukan lagi. Mereka berjuang, berorasi dan berdiplomasi memperjuangkan kondisi yang bahkan mereka sendiri sebenarnya tidak pernah mengalami. Perjuangan mereka tulus, dan patut diapresiasi. Tapi, cobalah lihat sesuatu yang lebih sederhana dari sisi mereka.

Bagi para intelektual, mungkin mereka menganggap ini adalah sebuah ketidakadilan. Tapi mampirlah sejenak ke daerah-daerah untuk mengenal rakyatnya lebih dekat. Bukankah Soe Hok Gie pernah bilang, bahwa mencintai Indonesia berarti harus berarti pula mencintai rakyatnya dari dekat. "Seseorang hanya bisa mencintai sesuatu secara sehat bila dia mengenal objeknya", begitu kata Gie. Anda akan tahu bahwa apa yang anda sebut ketidakadilan saat ini terkadang adalah satu-satunya hal yang menjadi tumpuan hidup banyak keluarga disini. Bahwa menjadi helper, driver, janitor, rigger, security atau operator alat berat adalah keahlian terbaik yang bisa mereka kerjakan saat ini.

Pernah saya mendengar langsung dari mulut salah satu pekerja. Beliau mengatakan, "Kami tahu Muara Badak adalah daerah yang amat sangat kaya raya dok, Tapi kami tidak mengharapkan lebih selain lapangan kerja yang bisa kami kerjakan sesuai dengan kapasitas kami disini. Kami bukan orang pintar dok, biarlah berjalan seperti ini, asal kami masih bisa bekerja dan anak istri saya masih bisa makan dan sekolah".

Sesederhana inilah kawan. Kekayaan daerah ini dikuras habis dan hasilnya hanya sekian persen saja yang dirasakan masyarakat Muara Badak. Beginilah nasib bangsaku Bangsa Indonesia. Kali ini saya ingin memendam sedikit "nilai kejujuran" dalam menjalankan tugas sebagai dokter. Biarlah Allah saja Yang Maha Tahu tentang apa saja yang saya lakukan.


(lanjutan percakapan tadi pagi dengan sang bapak,...)

"Insya Allah saya bantu pak, tetapi bapak harus berobat dulu. Saya berikan obat untuk menurunkan tekanan darah bapak, dan saya harap bapak kembali dalam waktu 3 atau 4 hari kedepan untuk memeriksa kembali tekanan bapak. Bila sudah normal, hasil MCU nya saya keluarkan. Bila belum normal, nanti tetap saya bantu". Saya menjelasakan tentang prosedur tidak resmi yang sering saya lakukan di Klinik. 

"Makasih banyak dok, Insya Allah saya akan minum obatnya dok, Tolong saya ya dok". Bapak itu kembali menekankan nada bicaranya saat minta tolong.

Biasanya, setelah 3 hari pengobatan. Saya akan memeriksa kembali tekanan darah para karyawan. Bila sudah normal saya akan keluarkan hasil MCU nya untuk diserahkan ke Vico. Tetapi bila belum normal, saya tetap akan tulis hasilnya normal dengan perjanjian bahwa untuk kepentingan kesehatan mereka sendiri, mereka harus rutin minum obat dan memeriksakan tekanan darahnya. Saya tidak tahu apakah mereka benar-benar melakukannya atau tidak. Bila sakitpun mereka juga tidak akan dapat bekerja secara optimal. Namun bila di-pending-pun, mereka akan lebih lama menganggur, dan itu artinya mereka tidak mendapat penghasilan. Saya memutuskan untuk membantu mereka dengan cara yang saya bisa. Apakah ini salah atau benar, biarlah Allah yang tahu akan segala-galanya.


-- Cerita Pagi Ini, di Klinik BOHC --