Rabu, 14 Oktober 2015

Candi Cetho : It's About The Journey, Not The Destination



Surabaya, 14 Oktober 2015

Hari ini rasa-rasanya cukup malas melakukan segala sesuatu. Kehidupan sebagai residen ternyata cukup melelahkan, dan adanya hari libur, tanpa agenda kegiatan di bagian, merupakan suatu hal yang amat sangat langka dan patut disyukuri. Pagi ini, matahari seperti biasa mengawali cerita kehidupan para makhluk di semesta. 

Aku sendiri sengaja bermalas-malasan setelah subuh. Dalam keadaan masih setengah ngantuk, aku berangan-angan tentang apa saja yang akan terjadi hari ini. Sembari mengumpulkan semangat, aku memutuskan untuk menuju kamar mandi dan mencuci baju.

Nah, sambil mengisi waktu liburan, aku memutuskan untuk menulis lagi di blog asal-asalan ini. Kali ini aku ingin berbagi pengalaman tentang perjalanan ke Candi Cetho di Karanganyar Jawa Tengah kira-kira 3 tahun yang lalu. 

Saat itu kami masih menjalani program Internsip sebagai kewajiban dokter yang baru lulus. Kebetulan kami ditempatkan di Puskesmas Ngrambe, Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Di sela-sela kesibukan jaga kami memutuskan untuk sejenak mengunjungi Candi Cetho. 

Rombongan kami waktu itu terdiri dari aku sendiri, Dinda, Angga dan Miftah yang Alhamdulillah kami semua diberi kesempatan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang program pendidikan dokter spesialis saat ini. Aku sendiri sebagai residen Anestesi, Dinda di Ilmu Kesehatan Anak, Angga di Orthopedi dan Miftah di Ilmu Penyakit Dalam.



Cetho dalam bahasa jawa berarti jelas atau jernih, Candi cetho berada di ketinggian 1400 meter lereng Gunung Lawu dan merupakan peninggalan umat Hindu abad ke – 14 M. Berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah yg pada umum nya menghadap ke barat, candi cetho ini menghadap ke timur mungkin karena pembangunannya pada masa Majapahit sehingga terpengaruh oleh candi-candi dari Jawa Timur.

Kami mengawali perjalanan dari Kecamatan Ngrambe, tempat kami mengabdikan diri sebagai dokter internsip. Mengendarai mobilnya Dinda "Black Bumblee Bee" nya yang kebetulan sering mengajak kita kemana-mana saat itu. Persisnya aku lupa, bagaimana kita bisa sampai ke Candi Cetho. Yang aku ingat, kami berangkat siang selepas jam dinas selesai dan melewati jalanan berliku di perbukitan, melewati hamparan kebun teh yang indah nan luas dan membentang sampai berkilo-kilo perjalanan kami.

Si Bumble Bee sempat ngambek, terbukti dari asap yang dikeluarkannya, memaksa kami sejenak untuk istirahat. Baiklah kami menepi di sebuah warung. Hari masih sore kala itu, matahari cerah sekali, udara dingin menusuk tulang, namun teriknya matahari senja masih mampu memberi kehangatan pada tubuh kami, sehangat mie rebus pakai telur yang kami pesan sore itu.

Bumble Bee Ngambek !!


,...................
Belum nampak awan menggumpal menaungi bumi
senja meratapi sunyi dan mimpi-mimpi
tak nampak pula asa kala gerimis membasahi tanah
dedaunan sibuk menari manja teriringi desir tiupan angin malas
pemuda pemudi sibuk memerdekakan diri
melangkah satu langkah
membelalak, membuka mata dunia akan rasa-rasa
mencoba menggenggam harga diri yang terbelenggu
menampakkan raga di keindahan sejati

................................

Sore menjelang senja, akhirnya kami sampai di Candi Cetho. Tidak banyak pengunjung yang ada, mungkin karena hari semakin sore. Sampai pada akhirnya kami semua pun sadar, bahwa sepertinya waktu terbaik mengunjungi Candi ini memang adalah sore menjelang senja, dan saat tidak banyak orang yang berkunjung.

Kami berkeliling candi, memahami setiap bagian dari candi, mempelajari apa yang bisa dipelajari. Tentu sambil mengambil foto sana -sini, karena tanpa dokumentasi, perjalanan ini akan sia-sia, dan blog ini pun tidak akan pernah ada. hehehe,..!!







Dalam perjalanannya, kami bahkan memberanikan diri untuk mencoba mengunjungi Puri Saraswati. Lokasinya agak jauh dari Candi Cetho, tapi masih berada di kompleks Candi Cetho. Saya lupa harus berapa lama kami berjalan kaki untuk menuju situs ini, tetapi sedikit waktu yang kami luangkan nampaknya tidak sia-sia. Untuk sebuah perjalanan budaya, saya pribadi cukup puas dengan candi Cetho ini.



Tentang aura mistisnya,..?? candi ini cukup bikin merinding memang. Namun percayalah, keindahannya mampu mengusir jauh-jauh rasa itu. Pada akhirnya perjalanan ini kami tutup dengan sebuah keindahan sejati tak tertandingi. Senja kami sore itu terbayar tuntas dengan pemandangan matahari tenggelam yang sangat-sangat indah. Kami terpukau sejenak, memutuskan untuk duduk dan mengamati senja luar biasa ini.



Belum tampak mendung merenung bumi
Seberkas haru larut terbalut kalut dan takut
Terpaku ratap menatap Jiwa-jiwa penuh rindu
Hangatkan dahaga raga yang sendu merayu


Bulan tak ingin membawa tertawa manja
Kala waktu enggan berkawan pada hari
Saat bintang bersembunyi sunyi sendiri
Terhapus awan gelap melahap habis langit


Bulan memudar cantik menarik pada jiwa ini
Hitam memang menang menyerang terang
Tetapi mekar fajar bersama mentari akan menari
Bersama untaian senandung salam alam pagi.

(Puisi Tanpa Nama)
Sumber



Pada akhirnya, ini semua tentang perjalanan hati. Saat ini, terkadang kerinduan itu datang merasuk, menampar raga yang seakan mulai lemah tak berdaya, mencoba menumbuhkan rasa itu kembali. Teman, aku sangat merindukan situasi hati saat menapakkan kaki di jalan setapak seperti dahulu. Teman, aku sangat rindu pula menghirup udara dingin sejuk gunung-gunung. Menghilangkan rasa penat situasi kota penuh asap. Teman, entahlah kapan saat aku dapat kembali melangkahkan kaki. Kembali berjalan, melangkah bahkan mungkin mendaki,..

Cerita malam ini adalah saksi kerinduanku yang dalam akan sebuah perjalanan hati. Berharap suatu saat kesempatan itu datang lagi.




Kawan, 
berandai-andailah bila mimpi nampak sendu seperti awan biru,..
mengejar cahaya silau sinaran senja-nan malu
mempelajari hikmah keindahan alam-Nya
senandung merdu mulai berbisik lembut
seriang teriakan bocah-bocah pesisir bermain pasir
menapak kaki satu demi satu
merasa angin di ujung bukit-bukit
menerpa rambut kita nan lembut
mendaki gunung-gunung
menyelami samudra
menulis sajak keindahan bumi kita
Nusantara raya,...
 


Bie, 2016.



Jumat, 25 September 2015

“Why did you decide to become an anesthesiologist?"







 










ramai merdu burung bersiul menderu awan siang itu,..
terbang sesekali merendah
melintaskan dua kakinya ke ranting kuning
daun layu pun bergugur indah nan gemulai
nampak gagah ksatria berwibawa
membawa air dalam guci
air suci,..
sampai pada lamunan senja sore itu,..
mata ini menatap jauh ke alam cita nan bangga
rasa-rasanya mimpi tak kunjung membuat raga ini terbangun,..
terlelap semakin dalam tak apalah
mendapati ilmu nan suci di kawah candradimuka
menggapai lagi cita yang mulia
menjadi bagian dari Airlangga,..

(bie, 25 September 2015)


Muara Badak,

Sore menjelang senja, saya menyempatkan diri untuk memeriksa beberapa pasien yang sudah menunggu di klinik. Hari-hari terakhir ini sungguh membuat saya merasa tidak tenang. Hari dimana saya menunggu pengumuman tentang hasil ujian saya dalam rangka menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Beberapa bulan terakhir, memang saya disibukkan dengan rangkaian ujian seleksi penerimaan PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Saya mengambil peminatan Anestesiologi dan Reanimasi di Universitas Airlangga, almamater saya dulu.

"Terima kasih dokter,..!"
"Sama-sama bu,.. jangan lupa kontrol secara rutin untuk gulanya dan sempatkan olahraga ringan nggeh,..!" jawabku pada salah seorang pasien saya yang terdiagnosa Diabetes Melitus menutup sore itu. Kebetulan beliau merupakan pasien terakhir sore itu. 

Saya mencuci tangan dan meletakkan stetokop di meja dokter, kemudian salah seorang teman memberi tahu saya di "Whatsapp" bahwa pengumuman ujian PPDS sudah dapat dilihat di website UNAIR sore ini. Jantung ini rasa berdebar kawan, semakin kencang dan bercampur antara penasaran dan cemas menjadi satu. Apakah Allah menakdirkan saya untuk dapat mengenyam pendidikan spesialis periode ini, atau kehendak Allah berkata lain, saya masih ragu. Namun setelah saya memasukkan nomor ujian ke dalam website, maka keluarlah pengumuman seperti di awal tulisan ini. Ya Allah,.. Alhamdulillah,.. saya berhasil diterima menjadi peserta didik PPDS Anestesiologi dan Reanimasi UNAIR periode 2015/2016. 




Adalah ummi saya tercinta yang saya kabari berita ini untuk pertama kali, menyusul kemudian istri saya tercinta dan keluarga yang lainnya. Saya anggap ini adalah karunia Allah yang begitu luar biasa kawan. Ini berarti perjuangan baru telah dimulai. Ini berarti janji harus ditunaikan, dan hal ini juga berarti amanah dan tanggung jawab baru telah tersemat pada pundak rapuh ini. Mengingat kembali cita-cita yang telah kami gantungkan setinggi langit dahulu.

Ada rasa senang, ada pula rasa haru. Pengumuman ini juga menandakan bahwa hari-hari pengabdian ini telah menjelang akhir. Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Terima kasih Muara Badak, yang telah memberi saya pengalaman luar biasa tak terhingga sehingga saya dapat menjadi dokter yang sedemikan rupa. Terima kasih seluruh rekan kerja di Klinik BOHC dan segenap masyarakat Muara Badak khususnya para pasien yang telah mempercayakan amanah dan tanggung jawab luar biasa ini untuk menjadi dokter di Muara Badak selama 2 tahun terakhir.

Pada akhirnya pertanyaan itu pun muncul dalam keheningan sejenak. “Why did you decide to become an anesthesiologist?"

Adalah kesan dari para guru-guru saya seperti (Alm) Prof. Koeshartono,dr., Sp. An KIC dan Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr. Sp. An KIC, serta senior-senior Anestesi yang lain lah yang membuat saya tertarik untuk mempelajari Anestesiologi dan Reanimasi. Cerita dan pengalaman beliau-beliau saat menangani bencana di berbagai wilayah Indonesia sangat menginspirasi saya untuk dapat menjadi bagian dari tim ini, atau paling tidak dapat meneladani apa yang telah beliau-beliau rintis dalam hal pelayanan kegawat daruratan. 

Saya masih teringat betul saat Prof. Koes menampilkan slide kuliah dimana beliau berada di salah satu wilayah pelosok Indonesia bersama anak-anak lokal sedang bermain. Sambil bercerita tentang bagaimana beliau dan tim GELS mengajarkan pentingnya dasar-dasar kegawat daruratan pada tenaga medis yang ada di daerah utamanya daerah pelosok, beliau berpesan ada kami yang masih muda-muda. Kira-kira beginilah pesannya,"Inilah bangsamu, bangsa Indonesia yang kita bangga-banggakan,...sambil menunjukkan foto-foto beliau saat berada di sana,.. merantaulah sejenak ke pelosok-pelosok negeri ini adik-adik sekalian, supaya kalian merasakan bagaimana rasanya mengabdi di daerah pelosok Nusantara". Persisnya saya lupa, tapi pada intinya beliau menganjurkan kami yang masih muda untuk sejenak mengabdikan ilmu terutama di daerah pelosok negeri ini. 

Dan ajaibnya, pesan yang disampaikan Prof. Koes saat saya masih semester 3 ini selalu terngiang sampai saya lulus menjadi dokter umum dan pada akhirnya saya memutuskan untuk mengabdikan ilmu di sebuah daerah pesisir Kalimantan Timur, Muara Badak sebelum akhirnya saya memilih Spesialisasi Anestesiologi dan Reanimasi sebagai jalur pengabdian saya yang baru. 

Banyak sekali cerita inspiratif dari guru-guru saya terutama dari Anestesi, diantaranya saat gempa berkekuatan 7,8 skala richter yang menggoyang Maumere pada 1992 hingga terjadi tsunami. Tim Satgas Bencana RSUD Dr. Soetomo sampai harus mengumpulkan puing-puing untuk mendirikan tenda. Operasi dilakukan di tempat yang jauh dari kata steril, dengan perbekalan medis yang dibawa ke lokasi. Menurut salah satu senior, kejadian di Maumere ini cukup berkesan bagi guru-guru kami yang aktif di Tim Satgas Bencana, karena mereka memberikan bantuan secara bertahap hampir selama dua tahun. Bahkan mereka juga melatih tenaga medis di sana sampai akhirnya RS Maumere berdiri. 

Masih banyak cerita inspiratif lain, yang semakin membuat saya ingin menjadi seperti beliau-beliau ini. Terlebih saat saya menjalani kepaniteraan klinik di RSUD Dr. Soetomo, saya semakin menemukan minat dan kecenderungan saya yang lebih menyukai bidang "Life Support" terutama kegawatdaruratan. Saya melihat sebuah kerja sama tim yang luar biasa di ruang Resusitasi saat ada pasien Cardiac Arrest atau jelek kondisinya. Pengalaman-pengalaman inilah yang memantabkan saya untuk lebih mendalami ilmu Anestesi dan Reanimasi. 

Kini, babak baru kehidupan saya telah dimulai. Saya telah diberikan kesempatan luar biasa untuk kembali menuntut ilmu, mudah-mudahan ilmu ini kelak bermanfaat bagi masyarakat serta harapan saya dapat meneruskan perjuangan beliau-beliau yang telah menginspirasi saya untuk mengembangkan ilmu kegawatdaruratan serta mengajarkannya kepada tenaga medis di pelosok-pelosok negeri. 

Di akhir tulisan ini saya ingin mengutip tulisan seorang Anestesiologists dari India,..

“After surgery, most patients only remember the name of their surgeon, not their anesthesiologist. We never hand out business cards, and we never get interviewed on television for helping to save a trauma victim,” said a university based anesthesiologist. “A patient who never mentions their anesthesia experience is the one who is the satisfied customer. It means that the patient made it safely through surgery without pain. That is when I can go home feeling gratified I did a good job for the day .
 

”Anesthesiologists do not depend on recognition from their patients for ego gratification. Instead, these behind-the-scenes doctors simply derive their personal satisfaction from within.




-bie