Sabtu, 11 Juni 2011

Tema : Nyontek massal atau sendiri-sendiri ??

,.....sekarang aku tahu jika kejujuran sebaiknya dijadikan sebuah tema parodi kehidupan, karena sepertinya para manusia ini lebih menghargai kehidupan semu yang benar-benar biru. Rasanya kelam jika memandang debu tersebut di balik rasa malu. Aku menyebutnya sebagai "Parodi Kejujuran". Sebuah tema lucu yang membingungkan. Dan para pemeran pun tidak perlu memainkan skenario dengan lucu. Cukup dengan menjadi diri sendiri. Para pemain drama adalah orang di balik jiwa-jiwa seni. Seni apapun sejatinya harus memuat pesan yang sarat makna. Dan makna hidup yang seperti apa yang akan tersirat dari tema-tema "kemunduran hati" di sana-sini.

Mengutip apa yang terjadi akhir-akhir ini di sebuah daerah di Surabaya. Sebut saja Tandes, bukan nama sebenarnya. Seorang Murid SD kelas 6 telah menjadi korban "konspirasi" kejahatan intelektual yang menyedihkan. Si "Al" nama murid tersebut telah diajarkan sebuah skenario drama percontekan luar biasa yang penuh dengan intrik. Intrik yang kejam. Kejam bagai pedang yang menghapus nilai-nilai keluhuran guru sebagai pendidik yang bersahaja. Bagaimana mungkin seorang guru mengajarkan tema-tema "ketidakjujuran" yang biasanya hanya dikuasai oleh para koruptor.
,...............
Sebelumnya, Siami mengatakan, dirinya baru mengetahui kasus itu pada 16 Mei lalu atau empat hari setelah Unas selesai. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al, anaknya, diplot memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan ‘taktik kotor’ itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al, mengaku. Ia bercerita sejak tiga bulan sebelum Unas sudah dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Setelah Al akhirnya mau, oknum guru itu diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan. (Kompas, 10 Juni 2011)
..............
Baik, aku mencoba untuk tidak emosional. Tapi sepertinya huruf-huruf yang tertulis semakin tidak bersahabat. Susunannya abstrak dan tak berbatas.  Maaf, mari kita kembali membahas "Parodi Kejujuran". Sekarang aku bertanya," Apakah kau masih selembut dahulu?" kata Gie dalam puisinya. Ingin sekali aku bertanya pada diri sendiri tentang rasa malu. Aku juga bukan manusia yang terlalu taat pada norma. Aku juga melewati masa-masa di mana kelas begitu berisik. Terkadang aku juga menyontek. Bolehkah aku menyebutnya sebagai budaya. Pengertian budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sekarang, bolehkah kita menertawakan diri kita sendiri?. Bolehkah kita mengajarkan anak-anak kita tentang "budaya-budaya" negeri ini?. Silahkan di jawab dengan hati.

Ada yang lebih mengharukan dari sekedar membaca berita-berita. Terlebih lagi jika kita mendengar kabar ketidaknyamanan. Bertambah kacau jika kita mendapatinya bersambung hingga esok hari. Terkadang kritik sangat menusuk dalam hati. Bahkan terkadang kritik muncul dari orang-orang awam yang tidak paham solusi. Seperti kejujuran. Terkadang mengatakan "jujur" itu sakit, dan melaksanakan kejujuran itu dapat seperti bunuh diri. Terkadang situasi juga sulit dimengerti.

Si Al telah di "eksploitasi" ketidakpahaman-nya. Oleh guru tercinta dia dihimbau untuk "membantu" teman-temannya, dan tentu saja dalam skenarionya si "teman" tersebut bersedia. Secara "Blak-blakan" aku berani mengatakan bahwa situasi ini telah terjadi di mana-mana. Apapun alasannya ini merupakan bentuk kecil tindakan korupsi. Korupsi termasuk dalam sub bab pembahasan bab "budaya" di negeri ini. Dan secara tidak sadar kita telah terlibat dalam konspirasi "budaya" yang mengerikan. Demi prestasi kita telah berdiskusi dengan calo-calo "Parodi". Demi kehebatan "semu" nilai UNAS, kita telah menjual harkat martabat kepada sistem. Dalam hal ini sistem telah terbentuk sebagaimana Pancasila mengajarkan "musyawarah" untuk mufakat. Mufakat dalam hal ini tentu saja adalah jawaban si Al, sebagai pemeran utama drama kali ini. Apakah anda merasakan kesedihan sejauh ini?. Atau hanya perasaan biasa, mengingat masa-masa lampau saat kita juga "nyontek!".

……Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami pada Kamis kemarin. (Kompas, 10 Juni 2011)

Yang aku sayangkan adalah ketika seorang ibu datang memperjuangkan kejujuran, justru respons negatif yang didapatkan. Mentalitas warga kita yang terpuruk karena pragmatisasi keadaan, lalu dengan semangat juang yang tinggi justru mengusir kebenaran. Masyarakat telah membunuh nuraninya atas nama ketidakjujuran. Mereka terlalu takut anak-anak mereka tidak lulus dan membiarkannya terjebak dalam kubangan kotor yang kita sebut sebagai “parodi ketidakjujuran”. Rasa malu telah berbalik arah, bahkan terjerumus ke dalam jurang awam yang gelap. Mereka telah menguburnya dalam-dalam di dalam hati. Tidak lagi peduli, tidak pula bersedih. Situasi menjadi sangat perih. Maka inilah yang kita sepakati sebagai bunuh diri. Kita jujur dan mati.

…..Warga juga menyatakan bahwa menyontek sudah terjadi di mana-mana dan wajar dilakukan siswa agar bisa lulus. (Kompas, 10 Juni 2011)
Mewajarkan sesuatu yang paradoks sudah sesuatu yang sering dilakukan oleh masyarakat kita. Menghalalkan segala cara demi suatu tujuan bukan merupakan tema yang baru di kalangan masyarakat. Memaklumkan orang untuk berdusta juga sudah sering. Asal kepentingan diri terpenuhi, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak. Jangankan kepentingan diri, terkadang kepentingan publik pun dipenuhi dengan cara-cara “cepat”.

Yang aku sampaikan saat ini adalah fakta yang terjadi di kehidupan kita. Dan mungkin terjadi pada anak-anak kita. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat menanggapinya. Apakah kita tetap bersikap lembut pada "ketidakjujuran" atau membiarkannya mengakar sebagai budaya yang perlu dilestarikan. Sebuah pilihan yang sulit di atas panggung "Parodi Kejujuran". Jika hal yang paling dasar dalam bermasyarakat saja sudah dilanggar di masa-masa kecil, lalu bagaimana mentalitas anak-anak bangsa ini kelak saat dewasa. Azas kejujuran semestinya diukir di sebuah prasasti yang kokoh karena akan menjadi langka di masa depan.
 



--bie--

Jumat, 10 Juni 2011

,...Nyanyian cinta burung-burung merpati,...

..................................
Gumpalan awan dan kabut-kabut senja di balik karang-karang impian
begitu terjal menjulang dan mengikis pasir-pasir keindahan
ombaknya bersautan bagai nyanyian cinta burung-burung merpati ,..
pantai adalah hamparan mimpi para penjudi alam,..
indahnya begitu malu tersipu kaki-kaki kasar kami,..
menapakinya begitu deras,..
memecah riaknya nan sepi,..
menyentuh airnya yang bersahaja dengan tangan ini
kami dan alam ini,..
menyelami dalamnya lautan
menyeberangi dahan-dahan di pulau-pulau kesendirian,..
mencari sajaknya yang dangkal dan tak berarti,...
bercerita tentang nurani di pelosok hutan dengan pantainya yang menyendiri
di sini,...



--bie--


NB :

Yang mencintai bumi,..


................
mereka yang lelah
atau para karang-karang di ujung kenistaan para pujangga bumi,..
mendaki puncak para gunung2 kami,..
memecah awan-awan kelabu yang semakin biru,..
berdiri dan menyapa seluruh alam,..
yang mencintai alam ini
sejuk diterpa angin yang berisik dengan candanya bersama debu
udara ini yang jernih oleh tiupan embun-embun pagi
dalam temaram sinarnya yang enggan para bintang saling bercumbu dalam gelap
begitu lirih kami merintih,..
memangkas dahan yang menghadang langkah ini,..
menapaki bukit-bukit cinta,..
para tanjakan sayang,..
dan indahnya puncak-puncak kemegahan singgasana bumi,..
.......................................................



--bie--

Canda-canda rumput di danau cinta Taman Hidup


,..............................................................................
apakah kami adalah pemuda-pemuda hampa,....
atau hanya jiwa-jiwa penat yang merindu senja,....
yang rela menghela keringat di kerah-kerah lusut baju-baju kami,...
sejenak sampailah kami di pelepah daun pisang yang rindang agak layu kecokelatan,....
sebentar lalu kami menghirup udara-udara kebebasan,..
lalu kami berjalan dan mulai mengingat pertemuan awal kami dengan hutan-hutan,...
menebas ranting-ranting patah yang sedikit demi sedikit menyapa kami
dengan duri-duri tumpul menginjak-injak keangkuhan para pendaki gunung-gunung,...
kami lelah teman,...
asap-asap kota telah mengusir kami dan menemukan danau cinta di "Taman hidup"
tenda kami yang basah membuat kami damai dalam sejenak,....
gerimis membuat kami sadar indahnya pelangi saat sore hari,....
lalu canda-canda rumput di sebelah kami membuat kami meringis..
mereka bergoyang,
menari-nari dengan musik lembut dari angin-angin yang bertiup,...
melewatkan sejenak keluh kesah kami,......


---bie---

Seperti pagi,...

………………..
Seperti pagi…….
Hari ini pun begitu kemilau dengan percikan bias yang panas
Yang terik….
tapi indah sekali ….
Aku mulai menulis saat ini..
Tentang hidup yang begitu rindang
Terlindung oleh engkau wahai para kesedihan
Yang senantiasa bersenandung waktu lalu...
Bertepuk riuh wahai kalian para duka nestapa
Sangat sendu dan kemerduan yang tersipu malu
Pada batu-batu yang sedikit berlagak bisu....
Lihatlah mereka para penyair senja...
Berkumpul dengan kubangan tintanya yang pilu...
Berkabung atas kematian mereka para nurani di negara ini....
Para bangsawan yang senantiasa tertawa dalam sakit hati ini teman....
Tentang kalian para ibu yang berjalan sejauh awan tak terbayang...
Sambil bercengkerama dalam diskusi alam yang kejam....
Terus bertahan...
bayangkan teman....
Cita-cinta yang mulia wahai para pejuang hidup.....
Ketika sedih dan aku mulai tak berarti...
Kemudian aku mulai berlari....
Membelai angin yang mulai malas berhembus...
Menatap malam gelap mengerikan....
Mengurung diri di sana ..
Sampai saat malam menjelang pagi....
Hingga aku mendapati percikan itu lagi......
Seperti pagi dan aku akan terus berlari...............
.........................................................................



---bie---

Harmoni,...

Harmoni ini…
begitu indah dan sungguh sangat terbayang
Mendengar dan berpikir tentang gelapnya jalan yang penuh dengan lampu-lampu yang redup........
Sangat indah terdengar sayu...
Seperti jeritan seseorang yang begitu kuat dalam sesaknya harmoni cinta....
Begitu menawan.....
menari-nari sangat anggun bersama mendung.....
Lihatlah bulan sebagian malu...
Menatap atau mengintip sebagian kaum yang sibuk berguru pada ilmu yang biru...
Sangat cantik beriringan dengan canda harmoni...
Seperti piano.....
atau dawai-dawai gitar yang tipis....
Berjalan dan memuja cinta......
Cinta...atau harmoni....cinta?
Entahlah apa yang terdengar saat malam purnama kemarin....
Hanya bisikan yang nakal dari angin malam yang begitu sedih saat itu....
Sambil berlari...
angin-angin itu berkejaran bersama debu....
Menuju suara cinta di padang sayang, para gembala rindu...
Sungguh aku merindumu sayang....
Merindu waktu yang akan tiba entah kapan....
Saat-saat rumput masih begitu pendek..
dan pohon masih begitu rindang...
Dan air-air kali yang sangat deras mendera kita saat dulu....
Masa-masa kecilku.......
sungguh telah berlalu.......



--bie--

Siapa dia,...



......................................................
lalu apa yang membuatmu tampak malu,..
sementara daun-daun mulai menguning dan semua masih tampak layu,...
apakah dahan-dahan juga merindumu seperti dahulu,....
durinya kecil menusuk perih jejak-jejak tak beraturan di hutan senja penuh cinta,....
sambil memanggil kumpulan burung pipit yang saling bercumbu dengan angin,...
lalu apa yang membuatnya tampak indah,...
sementara gemerisik pasir di tepi sungai masih nampak kusut,....
memandangnya jauh dalam riaknya yang lembut,...
sembari membasuh wajahnya dengan air-air belantara hutan rindu,.....
siapa dia kawan,....
lalu seperti apa kamu menginginkannya,....
sementara, aku hanya bisa menulis,....
karena sesuatu lebih mudah diungkap, jika ditulis,.....


---bie---


lirik by jikustik :
............................
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan-tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindah ku hanya untukmu
Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu


 ---Hehe---

Catatan kami,...

 
setiap perjalananku adalah arti,...
dan setiap arti adalah semuanya yang sungguh sangat indah
dalam cerpen singkat hidupku
lalu seperti apa bait-baitnya
apakah kau adalah burung yang senantiasa terbang sangat sayu
mengejekku begitu lugu dan tertawa begitu ramai
para dahan yang berisik saling melirikku
melihatku lalu coba menghadangku
setiap jalan adalah makna
dan setiap makna adalah bagian dari cita-citaku
aku melihatnya begitu tinggi,...
juga mengenangnya begitu indah,...


---bie---

Sebuah Cerita,...

 
Sebuah cerita untuk teman-teman ku……

Lihatlah teman
yang kita lewati sepanjang waktu berlalu
berlari bersama dan kalian yang begitu lucu..
dalam sesama kendaraan harapan dan cinta
dan semangat kalian yang begitu indah
sampai burung pun begitu malu untuk bergabung
dan pasir begitu sibuk saling berbisik
tentang kita....
atau apa saja yang kita cita-citakan dulu...
apa kalian lupa tentang masa lalu
tentang makanan yang begitu sesak dalam khayal
tentang canda yang begitu riuh dalam sedih..
atau tentang semua yang terjadi di sana...
lihatlah kalian para pejuang hati...
bernyanyi dalam sendu jiwa yang sepi..
terlampau rindu akan tanah kita yang dulu..
dengan para ibu kita yang lugu...
kemudian apa dan entah bagaimana yang terlampau jauh
aku tak akan lupa tentang semua..
tentang canda kita..
lalu saat kita bersedih....
juga tentang senyum para pujangga hidup di rantau...
......................................................................................


Terima kasih ..................
Untuk teman-teman terbaikku.....
Semua yang akan menjadi kenangan nanti.....
mungkin saat aku pergi...
Atau saat kita telah berjuang dalam diri menjadi pribadi yang sejati..
Di pelosok nurani....
Menjadi insan yang saling mencintai.....
Dalam cita dan cinta di hati...
Untuk kita semua nanti..yang akan berjuang demi cita-cita...dan cinta....
Sekali lagi terima kasih teman....



-----bie-----

,..aku adalah jiwa yang sepi,..


…………………………..
Padang sabana dalam hijauan lambai daun berujung rindu yang menguning…
tersenyum malu-malu saat angin menderanya sangat lugu
begitu gaduh oleh kawanan burung pembawa rindu
aku adalah jiwa yang sepi..
betapa cinta telah mengalahkanku dalam luasan sabana rindu di ujung kalbu…
demikian indah wajahnya terlukis di atas kertas angan-anganku
aku telah terbawa dalam jurang cinta yang awam..
ketika daun memelukku begitu kasar
dan senyumnya hadir melepas lamunanku yang tergantung dalam ranting-ranting kejenuhan..
Lelaki adalah kami yang begitu kecil dalam cinta..
atau hanya aku yang tersandung dalam keindahan semu gadis itu..
sesekali aku masuk dalam mimpi jauh di padang abu-abu
mencari cinta yang telah menegurku akan sifatnya yang alami…
juga kesucian didalamnya..
dalam sadar aku telah terlena..
juga sesak dalam dada, telah membuatku berdusta tentang diriku dihadapan cinta..
aku jatuh hati padanya……
……………………………





.....................

Tentang dia,...



...............................................................................
Selimut biruku tergulung lembut dalam tidurnya asa-asaku…
Begitu pula aku yang tersungkur dalam gundahnya hati yang membiru..
Membekas sangat lugu….
Betapa cinta hampir mengalahkanku..
Adalah suasana yang merona dalam sajak-sajak kepalsuan atas nama cinta..
Demi apapun aku adalah pejuang rindu…
dan saat-saat aku bersamanya adalah siksa…
kapankah terjadi waktu yang sejenak berhenti untuk sekedar menegurku
melihat luasan awan dalam birunya angan-anganku...
lelaki-lelaki dalam buaian kebimbangan
menyedihkan.....
jurang masih terlalu dalam untuk dikalahkan
dan para gunung-gunung itu masih terlalu tinggi untuk ditaklukan...
atau aku yang merana dalam perasaanku atas cinta...
perempuanku adalah dia yang begitu malu pada malam...
betapa rindu dia pada Tuhan...
dan begitu takutnya pada dosa...
padahal matahari begitu sibuk menyiangiku...
panas hatiku tak terdinginkan oleh wajahnya yang merona biru sangat sendu...
aku adalah malu...
lelaki enggan yang menghilang...
menelusup dalam sesaknya rindu yang membisu..
dan sebaiknya seperti itu....
..........................................


 --bie--

Kamis, 09 Juni 2011

,..Lawu dan cinta pada guru-guru,...



,....saat itu sore hari, dan kami (aku dan lamunanku) sedang menatap dedaunan saling bergoyang mengiringi nada-nada angin yang merdu. Di sebelah langit tampak langit yang lain, indah dengan guratan garis-garis awan yang tegas berbatas lentik bagai rambut gadis-gadis desa. Sejenak aku mulai terbawa dingin, dan saat itu pula pasir-pasir berbisik pada jemariku, tentang tanah liat yang kemarin, tentang semak belukar, tentang matahari yang muncul mengintip malu, tentang semuanya. Waktu itu yang aku ingat hanya wajahnya yang sendu, lalu senyumnya yang ranum, juga gaunnya yang anggun bagai bidadari. Seorang guru.

,......yang aku tulis adalah dendam pada situasi, suasana hati yang geram pada kondisi, juga amarah yang mengalir deras memecah batu-batu malu para pemimpin. Yang aku sampaikan adalah tema sosialis pragmatis  yang mungkin membuat sebagian burung meringis. Sehingga manusia-manusia malu akan sifatnya sendiri, dan paham akan tema kehidupan yang keras. Aku menulis tentang isi suatu dialog di kampung-kampung intelektual rumah kami (di rumah, kami sering berdiskusi tentang fakta).

,.....seorang kawan menceritakan tentang gaji guru-guru "sukuan" yang kecil. Sebenarnya kami tidak peduli sampai kami tahu bahwa sekolah-sekolah yang mereka perjuangkan adalah sekolah pinggiran di desa-desa pelosok. Desa adalah lambang ketentraman kawan, dan sampai saat aku masih duduk di bangku SD, aku masih berenang di "jomblangan", danau kecil di samping sekolah. Aku tersengat mengetahui bahwa salah seorang kawan kami hanya mendapat gaji "seratus delapan puluh ribu rupiah" atas perjuangannya mengajar anak-anak desa di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTS). Sekolahnya berada di desa yang sebagian anak-anaknya masih kental dengan siraman agama, sehingga sekolah yang ada pun berupa MTS. Kawan ini adalah seorang sarjana teman, dan dia mau mengajar di desa-desa. Lalu aku berpikir, apa yang dia dapat di sekolah kecil yang hampir semua masyarakatnya adalah warga miskin.

Sebuah ironi tentang majas-majas kemanusiaan yang tak ada batasnya. Sebuah prosa nyata tentang paradoks negeri ini. Tidak tahu mengapa aku menjadi bersemangat pada aura kemarahan pada diriku. Tiba-tiba aku sadar bahwa siapa lagi yang mengajar anak-anak itu, kalau bukan mereka (Guru-guru bantu,..), lalu pantaskah mereka mendapat lebih??". Siapa yang memikirkan nasib mereka??" Para raja negeri ini??" Para menteri??" Politikus??" Praktisi pendidikan??" Kita??".

Kebiasaan kita hanya mendengar, lalu mencoba melihat sedikit, kemudian berkomentar tentang apa saja yang dapat diucapkan. Tanpa merubah apapun,....aku sampaikan semuanya dalam batasan orang awam. Aku juga demikian.

,....anak-anak desa berhak sekolah, supaya mereka tahu bahwa puncak "mimpi-mimpi" mereka adalah nyata. Sehingga apapun itu, guru-guru mereka adalah yang terbaik....!!

Ya,....cemoro sewu adalah awal dari pendakianku yang kesekian kali. Kemarin malam kami berdiskusi tentang guru, sehingga aku memutuskan pendakianku kali ini aku dedikasikan kepada para guru. Aku tidak mampu membayangkan guru-guru yang mengajar di pedalaman-pedalaman Papua, jelas mereka melewati hutan yang jauhnya tak beralasan, menyeberangi sungai-sungai dan mungkin juga mendaki gunung-gunung.

Baiklah, mari kita coba ke Gunung Lawu,....


Cemoro Sewu adalah gerbang pertama pendakian kami saat itu, berangkat dari Surabaya hari Jum'at 13 Mei 2011 pukul 21.00, bersama dua orang kawan terbaik dalam pendakian akhir-akhir ini, Yoyok dan Anang.  Kami berangkat mulai jam 07.00 pagi hari Sabtu-nya. Kami yakin akan bertemu banyak orang di Lawu, karena waktu itu adalah akhir pekan. Puncak Gunung Lawu bisa ditempuh selama 6 jam dari pos pertama, cemoro sewu. Cukup menyenangkan untuk sekedar menggugurkan keinginan mendaki gunung. Tidak butuh waktu lama dan pemandangannya cukup bagus.
 

Di sana kami bertemu dengan rombongan dari ITS, adik-adik kelas rupanya, karena ternyata mereka baru angkatan 2009-2010.  Karena mereka tidak membawa tenda akhirnya kami sepakat untuk berangkat bersama-sama menuju puncak. Kami sendiri membawa satu tenda yang besar dan cukup untuk 6 orang sehingga tidak ada salahnya kami mengajak mereka bersama, toh sama-sama orang Surabaya jadi biar lebih akrab saja.


Anang dan Yoyok : Tampak Belakang



 Dalam perjalanan ke Puncak Lawu,....



 
Kawan, aku mengerti betul bahwa sampai aku bisa seperti ini adalah karena jasa guru-guru terbaikku. Mereka dengan tulus memberikan pelajaran, dengan sabar memberikan pengetahuan dan mengajari tentang segala sesuatu yang baik. 


 
Yoyok dan Anang

 

Sendang Drajat
Sumber kehidupan kami selama  di Puncak gunung Lawu. 

Pos Sendang Drajat adalah Pos ke-5 dalam pendakian menuju ke Puncak Gunung Lawu. Di sini terdapat warung Mbok Yem, yang berjualan aneka macam gorengan dan nasi. Lumayan untuk mengisi perut yang kosong karena terus berjalan selama pendakian. Gunung Lawu cocok sebagai latihan bagi pendaki-pendaki pemula yang ingin merasakan hawa gunung. Di sini jalannya cukup jelas dan banyak terdapat warung-warung warga di puncaknya, baik lewat pendakian lewat jalur cemoro sewu maupun cemoro kandang.


Pecel Mbok Yem Lawu

Dari Pos sendang drajat menuju puncak Hargo Dumilah bisa ditempuh selama 15 menit. Jaraknya tidak terlalu jauh, cukup membawa daypack kecil dan botol air minum  kecil. Akan terdapat percabangan yang jika ke kanan menuju ke Petilasan Prabu Brawijaya. Sementara yang satunya menuju Puncak Hargo Dumilah. Dalam perjalanannya kita akan menemui padang edelweiss jika beruntung, karena hanya musim-musim tertentu saja edelweiss berbunga.

Menuju puncak


 Puncak tertinggi Gunung Lawu, atau lebih di kenal sebagai Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl). Di sana kami bertemu dengan teman-teman dari Jogja yang mendaki dari jalur cemoro kandang.


Mengibarkan bendera UNAIR di puncak tertinggi Hargo Dumilah (3265 m dpl). 

Kawan, aku hanya memiliki satu bendera yang selalu aku bawa dalam setiap pendakianku. Bendera tersebut adalah bendera yang ada di foto. Bendera UNAIR. UNAIR sudah seperti rumah kedua bagiku . Aku sangat senang bisa mengibarkan bendera UNAIR di puncak gunung-gunung. Bagiku, bendera ini sama pentingnya dengan bendera merah putih yang juga selalu kami kibarkan di puncak gunung-gunung. Apa artinya bagiku?? Ternyata aku juga sama. Bahwa aku adalah orang desa yang beruntung mendapat pendidikan di UNAIR adalah benar. Bahwa aku adalah anak yatim yang beruntung menjadi dokter pun itu mungkin benar. Dan bahwa aku mendapat pelajaran terbaik dari guru-guru kami di UNAIR pun, itu sangat benar. Kawan, betapa banyak dosen-dosen yang menginspirasiku. Mungkin mereka tidak tahu dan tidak terlalu penting mereka tahu. Yang aku tahu aku bangga menjadi dokter alumni UNAIR, dan aku bangga dapat mengibarkan bendera UNAIR di puncak gunung-gunung walau bukan gunung tertinggi. Mungkin aku ingin seperti mereka dalam konteks sebagai guru, yaitu menginspirasi. Itu juga benar.

Kami mendaki karena kami memang ingin mendaki kawan. Di gunung kami mendapat teman-teman baru, di sini pula kami dapat belajar menahan diri dan tidak egois. Aku sendiri sangat menikmati kegiatan mendaki gunung. Alasan lain adalah dengan mendaki gunung aku measa lebih dekat dengan alam Indonesia, dan dapat lebih belajar bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya. 

Seperti kata Hok Gie "Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan, seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objek-objeknya, mencintai tanah air Indonesia dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dengan dekat. pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat, karena itulah kami naik gunung".



 Di percabangan menuju Hargo Dalem (Petilasan Prabu Brawijaya)


 Hargo Dalem


 Dari kejauhan, Hargo Dalem.

Bahwa orang yang mendaki gunung suka menulis puisi itu mungkin benar. Aku merasa banyak inspirasi di sini. Dan lirik-lirik seperti dengan mudah mengiringi perjalanan kami. Dan mengingat apa-apa yang telah menjadi pelajaran hidup, bisa menjadi lebih mudah di gunung. Termasuk mengingat guru-guru tercinta dari semasa kami kecil. Mengingat guru-guru di ujung belantara hutan-hutan Papua. Mengingat guru-guru luar biasa yang menangisi murid-murid mereka yang telah "sukses". Meresapi raut wajahnya yang semakin tua. Semuanya. 



Carrier yang selalu menemani setiap pendakian kami.

Nah, Inilah tas-tas kusut kami yang menemani mengantar mimpi-mimpi kami mencapai puncak gunung-gunung. Hehehe, terkadang kami juga malu pada diri sendiri. Tak jarang pula kami mengeluh tentang beratnya barang bawaan kami. Tapi kalau kami kalah oleh gertakan angin yang berbisik seperti itu, maka kami akan mati di gunung. Allah adalah pemegang sah hak kehidupan kami, baik itu di gunung atau di tempat selain gunung. Maka sebab itulah kami tidak meninggalkan Sholat selama di Gunung. InsyaAllah. 

Kawan, ini juga yang kumaksud dengan belajar menahan diri. Kau akan belajar mengerti bagaimana wajah -wajah orang yang lusut karena membawa carrrier-nya, wajah kusut karena lelah atau capek, dan disitulah peluangmu untuk membantunya, mungkin dengan menggantikannya sejenak, atau menahan ego-mu untuk berjalan terus. Mendaki dan terus mendaki itu butuh kesabaran, dan tidak semua orang dapat melakukannya. Orang cenderung tergesa-gesa, dan ingin cepat mencapai puncak. Analogi ini aku rasa juga terjadi di kehidupan dunia. Bahwa dalam hal apapun, manusia cenderung ingin cepat sampai pada cita-citanya. Padahal yang kami tahu, banyak "spot" yang bagus untuk dinikmati. Banyak pula hikmah disetiap langkah yang bisa kita ambil. Bahwa ternyata bersabar itu  sulit, dan tak jarang orang menyerah karena itu.

 
Teman-teman selama pendakian, Arek-arek ITS. Terima kasih kawan. 

Mendapat kawan baru yang sebelumnya tidak saling kenal. Hanya satu tujuan kami. Kami hanya suka mendaki gunung. Percayalah, jika kamu ingin mengenal lebih dekat teman-temanmu, maka bawalah dia ke Gunung, maka kamu akan melihat bagaimana sifat asli dari teman-mu. Di gunung, orang akan menjadi dirinya sendiri. Kalau dia baik maka dia akan menjadi baik, dan kalau dia egois maka gunung adalah tempat terbaik untuk menjadi egois. Pengalamanku, kami menjadi lebih akrab selama pendakian. Dengan kawan baru kami membicarakan banyak hal. Mulai dari politik sampai pendidikan, mulai cita-cita sampai harapan, mulai mimpi-mimpi sampai kenyataan pahit dalam hidup. Semua kita bicarakan. Kami menjadi lebih mudah menyapa, menjadi lebih mudah berbagi. Menjadi sangat toleransi. Suatu hal langka yang sulit dilakukan di tempat lain.


Dari Ketinggian, aku mencoba melihat ke bawah,...
Manusia ternyata kecil di hadapan alam,...
dan alam itu kecil sekali di hadapan Tuhan,....

Tema kita adalah guru,...
dan pendakianku kali ini juga demi guru-guru,...
sebagai penutup ijinkan aku menulis sesuatu untuk mereka,.....

,...............
Seseorang telah mendadak pergi pagi itu,...
lalu kami juga berhamburan menabrakkan wajah-wajah kuyu,...
sambil meringis menatap matahari ilmu di kelas-kelas...
suasana tidak pernah berubah,
kelas-kelas selalu penuh dengan puisi-puisi angka,
majas-majas tak beraturan,
dan lembaran prosa tak berujung,

aku mengerti mengapa kami menangis,...
aku paham kenapa kami berada jauh di sini,...
tapi aku tak tahu kenapa guruku meninggalkan kami,...
atau kami menangis karena engkau pergi?
terkadang aku jenuh berada di hutan,...
tak jarang aku marah karena "suasana" ini telah mengusirnya
aku sedih guruku telah pergi,
meninggalkan kami anak-anak desa,...

yang aku tahu,
aku hanya ingin melihatnya tersenyum,...
datang setiap pagi dan bisa mencium punggung tangannya setiap pagi,...
mendengarkan nada bicaranya yang lembut
menundukkan wajah kami karena beliau marah,..
lalu menyambut rapor kami yang penuh dengan "angka merah" dengan rasa malu.

Seseorang telah membuat kami bercita-cita,..
walau hutan belantara dan sungai-sungai menjauhkanmu,..
kau telah tulus melangkah menghampiri kami di pelosok negeri,...
meski kini engkau pergi,...
tetapi engkau telah memahat mimpi di hati kami,..

NB : Untuk Guru-guru di penjuru Nusantara, dan "guru" bagi anak-anakku kelak.