Kamis, 09 Juni 2011

,..Lawu dan cinta pada guru-guru,...



,....saat itu sore hari, dan kami (aku dan lamunanku) sedang menatap dedaunan saling bergoyang mengiringi nada-nada angin yang merdu. Di sebelah langit tampak langit yang lain, indah dengan guratan garis-garis awan yang tegas berbatas lentik bagai rambut gadis-gadis desa. Sejenak aku mulai terbawa dingin, dan saat itu pula pasir-pasir berbisik pada jemariku, tentang tanah liat yang kemarin, tentang semak belukar, tentang matahari yang muncul mengintip malu, tentang semuanya. Waktu itu yang aku ingat hanya wajahnya yang sendu, lalu senyumnya yang ranum, juga gaunnya yang anggun bagai bidadari. Seorang guru.

,......yang aku tulis adalah dendam pada situasi, suasana hati yang geram pada kondisi, juga amarah yang mengalir deras memecah batu-batu malu para pemimpin. Yang aku sampaikan adalah tema sosialis pragmatis  yang mungkin membuat sebagian burung meringis. Sehingga manusia-manusia malu akan sifatnya sendiri, dan paham akan tema kehidupan yang keras. Aku menulis tentang isi suatu dialog di kampung-kampung intelektual rumah kami (di rumah, kami sering berdiskusi tentang fakta).

,.....seorang kawan menceritakan tentang gaji guru-guru "sukuan" yang kecil. Sebenarnya kami tidak peduli sampai kami tahu bahwa sekolah-sekolah yang mereka perjuangkan adalah sekolah pinggiran di desa-desa pelosok. Desa adalah lambang ketentraman kawan, dan sampai saat aku masih duduk di bangku SD, aku masih berenang di "jomblangan", danau kecil di samping sekolah. Aku tersengat mengetahui bahwa salah seorang kawan kami hanya mendapat gaji "seratus delapan puluh ribu rupiah" atas perjuangannya mengajar anak-anak desa di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTS). Sekolahnya berada di desa yang sebagian anak-anaknya masih kental dengan siraman agama, sehingga sekolah yang ada pun berupa MTS. Kawan ini adalah seorang sarjana teman, dan dia mau mengajar di desa-desa. Lalu aku berpikir, apa yang dia dapat di sekolah kecil yang hampir semua masyarakatnya adalah warga miskin.

Sebuah ironi tentang majas-majas kemanusiaan yang tak ada batasnya. Sebuah prosa nyata tentang paradoks negeri ini. Tidak tahu mengapa aku menjadi bersemangat pada aura kemarahan pada diriku. Tiba-tiba aku sadar bahwa siapa lagi yang mengajar anak-anak itu, kalau bukan mereka (Guru-guru bantu,..), lalu pantaskah mereka mendapat lebih??". Siapa yang memikirkan nasib mereka??" Para raja negeri ini??" Para menteri??" Politikus??" Praktisi pendidikan??" Kita??".

Kebiasaan kita hanya mendengar, lalu mencoba melihat sedikit, kemudian berkomentar tentang apa saja yang dapat diucapkan. Tanpa merubah apapun,....aku sampaikan semuanya dalam batasan orang awam. Aku juga demikian.

,....anak-anak desa berhak sekolah, supaya mereka tahu bahwa puncak "mimpi-mimpi" mereka adalah nyata. Sehingga apapun itu, guru-guru mereka adalah yang terbaik....!!

Ya,....cemoro sewu adalah awal dari pendakianku yang kesekian kali. Kemarin malam kami berdiskusi tentang guru, sehingga aku memutuskan pendakianku kali ini aku dedikasikan kepada para guru. Aku tidak mampu membayangkan guru-guru yang mengajar di pedalaman-pedalaman Papua, jelas mereka melewati hutan yang jauhnya tak beralasan, menyeberangi sungai-sungai dan mungkin juga mendaki gunung-gunung.

Baiklah, mari kita coba ke Gunung Lawu,....


Cemoro Sewu adalah gerbang pertama pendakian kami saat itu, berangkat dari Surabaya hari Jum'at 13 Mei 2011 pukul 21.00, bersama dua orang kawan terbaik dalam pendakian akhir-akhir ini, Yoyok dan Anang.  Kami berangkat mulai jam 07.00 pagi hari Sabtu-nya. Kami yakin akan bertemu banyak orang di Lawu, karena waktu itu adalah akhir pekan. Puncak Gunung Lawu bisa ditempuh selama 6 jam dari pos pertama, cemoro sewu. Cukup menyenangkan untuk sekedar menggugurkan keinginan mendaki gunung. Tidak butuh waktu lama dan pemandangannya cukup bagus.
 

Di sana kami bertemu dengan rombongan dari ITS, adik-adik kelas rupanya, karena ternyata mereka baru angkatan 2009-2010.  Karena mereka tidak membawa tenda akhirnya kami sepakat untuk berangkat bersama-sama menuju puncak. Kami sendiri membawa satu tenda yang besar dan cukup untuk 6 orang sehingga tidak ada salahnya kami mengajak mereka bersama, toh sama-sama orang Surabaya jadi biar lebih akrab saja.


Anang dan Yoyok : Tampak Belakang



 Dalam perjalanan ke Puncak Lawu,....



 
Kawan, aku mengerti betul bahwa sampai aku bisa seperti ini adalah karena jasa guru-guru terbaikku. Mereka dengan tulus memberikan pelajaran, dengan sabar memberikan pengetahuan dan mengajari tentang segala sesuatu yang baik. 


 
Yoyok dan Anang

 

Sendang Drajat
Sumber kehidupan kami selama  di Puncak gunung Lawu. 

Pos Sendang Drajat adalah Pos ke-5 dalam pendakian menuju ke Puncak Gunung Lawu. Di sini terdapat warung Mbok Yem, yang berjualan aneka macam gorengan dan nasi. Lumayan untuk mengisi perut yang kosong karena terus berjalan selama pendakian. Gunung Lawu cocok sebagai latihan bagi pendaki-pendaki pemula yang ingin merasakan hawa gunung. Di sini jalannya cukup jelas dan banyak terdapat warung-warung warga di puncaknya, baik lewat pendakian lewat jalur cemoro sewu maupun cemoro kandang.


Pecel Mbok Yem Lawu

Dari Pos sendang drajat menuju puncak Hargo Dumilah bisa ditempuh selama 15 menit. Jaraknya tidak terlalu jauh, cukup membawa daypack kecil dan botol air minum  kecil. Akan terdapat percabangan yang jika ke kanan menuju ke Petilasan Prabu Brawijaya. Sementara yang satunya menuju Puncak Hargo Dumilah. Dalam perjalanannya kita akan menemui padang edelweiss jika beruntung, karena hanya musim-musim tertentu saja edelweiss berbunga.

Menuju puncak


 Puncak tertinggi Gunung Lawu, atau lebih di kenal sebagai Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl). Di sana kami bertemu dengan teman-teman dari Jogja yang mendaki dari jalur cemoro kandang.


Mengibarkan bendera UNAIR di puncak tertinggi Hargo Dumilah (3265 m dpl). 

Kawan, aku hanya memiliki satu bendera yang selalu aku bawa dalam setiap pendakianku. Bendera tersebut adalah bendera yang ada di foto. Bendera UNAIR. UNAIR sudah seperti rumah kedua bagiku . Aku sangat senang bisa mengibarkan bendera UNAIR di puncak gunung-gunung. Bagiku, bendera ini sama pentingnya dengan bendera merah putih yang juga selalu kami kibarkan di puncak gunung-gunung. Apa artinya bagiku?? Ternyata aku juga sama. Bahwa aku adalah orang desa yang beruntung mendapat pendidikan di UNAIR adalah benar. Bahwa aku adalah anak yatim yang beruntung menjadi dokter pun itu mungkin benar. Dan bahwa aku mendapat pelajaran terbaik dari guru-guru kami di UNAIR pun, itu sangat benar. Kawan, betapa banyak dosen-dosen yang menginspirasiku. Mungkin mereka tidak tahu dan tidak terlalu penting mereka tahu. Yang aku tahu aku bangga menjadi dokter alumni UNAIR, dan aku bangga dapat mengibarkan bendera UNAIR di puncak gunung-gunung walau bukan gunung tertinggi. Mungkin aku ingin seperti mereka dalam konteks sebagai guru, yaitu menginspirasi. Itu juga benar.

Kami mendaki karena kami memang ingin mendaki kawan. Di gunung kami mendapat teman-teman baru, di sini pula kami dapat belajar menahan diri dan tidak egois. Aku sendiri sangat menikmati kegiatan mendaki gunung. Alasan lain adalah dengan mendaki gunung aku measa lebih dekat dengan alam Indonesia, dan dapat lebih belajar bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya. 

Seperti kata Hok Gie "Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan, seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objek-objeknya, mencintai tanah air Indonesia dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dengan dekat. pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat, karena itulah kami naik gunung".



 Di percabangan menuju Hargo Dalem (Petilasan Prabu Brawijaya)


 Hargo Dalem


 Dari kejauhan, Hargo Dalem.

Bahwa orang yang mendaki gunung suka menulis puisi itu mungkin benar. Aku merasa banyak inspirasi di sini. Dan lirik-lirik seperti dengan mudah mengiringi perjalanan kami. Dan mengingat apa-apa yang telah menjadi pelajaran hidup, bisa menjadi lebih mudah di gunung. Termasuk mengingat guru-guru tercinta dari semasa kami kecil. Mengingat guru-guru di ujung belantara hutan-hutan Papua. Mengingat guru-guru luar biasa yang menangisi murid-murid mereka yang telah "sukses". Meresapi raut wajahnya yang semakin tua. Semuanya. 



Carrier yang selalu menemani setiap pendakian kami.

Nah, Inilah tas-tas kusut kami yang menemani mengantar mimpi-mimpi kami mencapai puncak gunung-gunung. Hehehe, terkadang kami juga malu pada diri sendiri. Tak jarang pula kami mengeluh tentang beratnya barang bawaan kami. Tapi kalau kami kalah oleh gertakan angin yang berbisik seperti itu, maka kami akan mati di gunung. Allah adalah pemegang sah hak kehidupan kami, baik itu di gunung atau di tempat selain gunung. Maka sebab itulah kami tidak meninggalkan Sholat selama di Gunung. InsyaAllah. 

Kawan, ini juga yang kumaksud dengan belajar menahan diri. Kau akan belajar mengerti bagaimana wajah -wajah orang yang lusut karena membawa carrrier-nya, wajah kusut karena lelah atau capek, dan disitulah peluangmu untuk membantunya, mungkin dengan menggantikannya sejenak, atau menahan ego-mu untuk berjalan terus. Mendaki dan terus mendaki itu butuh kesabaran, dan tidak semua orang dapat melakukannya. Orang cenderung tergesa-gesa, dan ingin cepat mencapai puncak. Analogi ini aku rasa juga terjadi di kehidupan dunia. Bahwa dalam hal apapun, manusia cenderung ingin cepat sampai pada cita-citanya. Padahal yang kami tahu, banyak "spot" yang bagus untuk dinikmati. Banyak pula hikmah disetiap langkah yang bisa kita ambil. Bahwa ternyata bersabar itu  sulit, dan tak jarang orang menyerah karena itu.

 
Teman-teman selama pendakian, Arek-arek ITS. Terima kasih kawan. 

Mendapat kawan baru yang sebelumnya tidak saling kenal. Hanya satu tujuan kami. Kami hanya suka mendaki gunung. Percayalah, jika kamu ingin mengenal lebih dekat teman-temanmu, maka bawalah dia ke Gunung, maka kamu akan melihat bagaimana sifat asli dari teman-mu. Di gunung, orang akan menjadi dirinya sendiri. Kalau dia baik maka dia akan menjadi baik, dan kalau dia egois maka gunung adalah tempat terbaik untuk menjadi egois. Pengalamanku, kami menjadi lebih akrab selama pendakian. Dengan kawan baru kami membicarakan banyak hal. Mulai dari politik sampai pendidikan, mulai cita-cita sampai harapan, mulai mimpi-mimpi sampai kenyataan pahit dalam hidup. Semua kita bicarakan. Kami menjadi lebih mudah menyapa, menjadi lebih mudah berbagi. Menjadi sangat toleransi. Suatu hal langka yang sulit dilakukan di tempat lain.


Dari Ketinggian, aku mencoba melihat ke bawah,...
Manusia ternyata kecil di hadapan alam,...
dan alam itu kecil sekali di hadapan Tuhan,....

Tema kita adalah guru,...
dan pendakianku kali ini juga demi guru-guru,...
sebagai penutup ijinkan aku menulis sesuatu untuk mereka,.....

,...............
Seseorang telah mendadak pergi pagi itu,...
lalu kami juga berhamburan menabrakkan wajah-wajah kuyu,...
sambil meringis menatap matahari ilmu di kelas-kelas...
suasana tidak pernah berubah,
kelas-kelas selalu penuh dengan puisi-puisi angka,
majas-majas tak beraturan,
dan lembaran prosa tak berujung,

aku mengerti mengapa kami menangis,...
aku paham kenapa kami berada jauh di sini,...
tapi aku tak tahu kenapa guruku meninggalkan kami,...
atau kami menangis karena engkau pergi?
terkadang aku jenuh berada di hutan,...
tak jarang aku marah karena "suasana" ini telah mengusirnya
aku sedih guruku telah pergi,
meninggalkan kami anak-anak desa,...

yang aku tahu,
aku hanya ingin melihatnya tersenyum,...
datang setiap pagi dan bisa mencium punggung tangannya setiap pagi,...
mendengarkan nada bicaranya yang lembut
menundukkan wajah kami karena beliau marah,..
lalu menyambut rapor kami yang penuh dengan "angka merah" dengan rasa malu.

Seseorang telah membuat kami bercita-cita,..
walau hutan belantara dan sungai-sungai menjauhkanmu,..
kau telah tulus melangkah menghampiri kami di pelosok negeri,...
meski kini engkau pergi,...
tetapi engkau telah memahat mimpi di hati kami,..

NB : Untuk Guru-guru di penjuru Nusantara, dan "guru" bagi anak-anakku kelak.


1 komentar:

  1. Sudah pernah lewat cemoro kandang belum...??? nilai2 spiritualnya akan lebih terasa...

    BalasHapus