Selasa, 03 April 2012

Palang Merah Indonesia

Ketika segala sesuatu berubah mejadi gelap seperti kabut yang turun perlahan demi perlahan di lembah kasih yang berduka, tidak ada lagi tawa dan canda yang bergermuruh, apalagi senyum anak-anak Desa yang meringis karena melihat pelangi. Lalu apa yang manusia harapkan dibalik jubah kesombongannya yang angkuh serta tangannya yang mengkilat karena jarang tersentuh debu. Ketika matahari masih menyapa seluruh alam, sementara awan mendung menghinggapi daerah-daerah bencana, apakah manusia sadar bahwa Kekuasaan tertinggi itu masih ada pada-Nya.

Lirik-lirk lagu seakan dapat menggantikan suasana haru, padahal yang terjadi adalah bumi ini murka karena alamnya dirusak oleh manusia-manusia tak beraturan dengan mengatasnamakan kebebasan. Puisi tak ubahnya hanya sebuah karangan simpati, namun tetap tak dapat mewakili kaki-kaki kusut para pejuang kehidupan di desa-desa terpencil. 

Angin terasa sangat dingin pada sore hari. Beruntunglah para manusia yang berselimut kejujuran dan kerendahan hati. Masihkah kita dapat  melihat senyum saudara sebumi??, Sementara rumah-rumah mereka hancur diterpa badai kebohongan. Tanaman padi-pun seakan enggan menguning, dan ikan-ikan di laut seraya lari meninggalkan nelayan. Para ikan berlindung dibalik ombak yang bergulung-gulung ditemani hujan. Sungguh sangat Menyedihkan.

Aku sedih melihat bangsa ini. Aku sedih melihat saudara-saudaraku di desa. Aku bayangkan satu hal yang pahit di kala mendung. Aku berangan akulah yang berada di posisi mereka, menahan hawa dingin dan rasa lapar sambil menanti pencari nafkah yang tidak kunjung datang.

Aku sedih melihat bencana demi bencana juga terus melanda. Apakah ini hukuman bagi manusia-manusia tidak bersyukur seperti kami?. Aku sadar bahwa inilah cobaan bagi bangsa yang besar ini. Dan aku yakin inilah yang diinginkan Tuhan, supaya para penguasa itu menelan ludah, merasa bergetar dan takut karena merekalah yang menyia-nyiakan bangsanya sendiri.

Sejenak aku berpikir tentang apa saja yang ada disekitarku. Aku berkutat dengan orang-orang yang menderita karena harus berbaring di ranjang pesakitan. Mereka harus bersabar dengan cobaan penyakit yang diderita. Setiap hari aku melihat bangsal-bangsal penuh dengan wajah-wajah murung nan rindu. mereka sangat merindukan suasana desa yang sejuk dan bau pasir tanah yang baru saja tersiram gerimis.

Aku hanya ingin merawat mereka dengan sepenuh hati, juga membuat mereka tersenyum.

Aku sendiri telah menjalani hari-hari yang keras selama ini. Mulai dari tingkat sekolah dasar hingga kuliah, aku harus berjuang dan selalu berjuang demi cita-cita. Seorang laki-laki tertua dari keluarga tanpa ayah sejak kecil yang tinggal dengan ummi terhebat dan satu adik laki-laki yang nakal. Maka, secara sederhana sebenarnya aku adalah harapan keluarga. Kehidupan yang keras ini pula-lah yang mengantarkanku bercita-cita menjadi dokter. Keterbatasan inilah yang membentuk idealisme pribadiku, bahwa kepentingan kemanusiaan merupakan prioritas dalam menjalani profesi ini.


Aku menegaskan pada diriku sendiri, bahwa kegiatan kemanusiaan yang saya jalani di luar Rumah Sakit tempat saya bekerja sama sekali tidak terpengaruh oleh Suku, Agama dan Ras apapun. Saya berusaha menolong setiap orang yang membutuhkan pertolongan saya tanpa terkecuali. 
 
Sebagai mahasiswa, dulu sebenaranya aku termasuk yang tidak terlalu suka dengan birokrasi. Organisasi-organisasi kampus yang kegiatannya hanya rapat, rapat dan rapat tanpa turun ke lapangan membuatku malas untuk bergabung di dalamnya. Sebenarnya kondisi pulalah yang membuat rasanya hidup ini lebih berguna untuk aku gunakan bekerja sambil kuliah daripada menghabiskan waktu untuk berorganisasi (Mahasiswa miskin). Dan siapa bilang, orang yang tidak berorganisasi tidak dapat bersosialisasi. Bekerja sebagai guru membuatku mengenal banyak orang. Aku mendapatkan penghasilan sekaligus dapat bertahan hidup di Surabaya.


Yaaa...Mahasiswa yang hidup dari beasiswa dan pekerjaannya sebagai guru les privat dan sempat menjadi penjaga warnet, itulah aku.


Tapi mungkin aku sendiri tidak menyadari bahwa kehidupan inilah yang membentuk karakterku sebagai dokter. Terbiasa menghadapi situasi yang sulit membuatku bisa sedikit bersabar dalam menghadapai suatu masalah.

Selain mahasiswa dan bekerja, aku adalah penggiat alam bebas. Aku menemukan bahwa inilah aku. Aku dan gunung-gunung. Aku sangat menyukai gunung-gunung sejak pendakian pertama-ku ke Gunung Argopuro di Probolinggo. Aku seperti menemukan jiwaku. Aku seperti menemukan bahwa inilah yang dapat melatih kesabaranku, inilah yang dapat membuatku bertahan. Filosofinya yang khas dan kepuasan tiada tara ketika kita berhasil menggapai puncak tertingginya. Kebersaman dan toleransi yang tidak ternilai dengan sesama manusia. Serta yang paling penting, kita diajarkan bagaimana bertahan hidup di tempat yang semuanya serba terbatas. Di Gunung orang akan menjadi manusia paling bersyukur karena dapat menikmati secara langsung keindahan dan kebesaran ciptaan-Nya.

Pengalaman inilah yang membuatku mantab dengan keputusanku untuk berpartisipasi dalam organisasi kemanusiaan. Aku ingin menyisihkan hidupku untuk berbagi. Aku ingin ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial. paling tidak aku bisa membuat mereka tersenyum. Aku tidak punya uang tetapi paling tidak aku punya semangat kemanusiaan. Aku siap dikirim ke mana saja yang sedang tertimpa konflik atau bencana. Aku telah mendedikasikan diriku untuk kegiatan kemanusiaan.

Tetapi ada satu hal yang lebih penting yang ingin aku tegaskan. Aku tegaskan sekali lagi bahwa kegiatan kemanusiaanku tidak terkotak-kotak dalam satu organisasi dalam bentuk apapun. Aku seorang muslim, tapi kegiatan kemanusiaanku tidak pernah dipengaruhi oleh latar belakang Suku, Agama dan Ras apapun. Aku tidak fanantik pada satu organisasi.

Aku tegaskan bahwa meskipun aku terdaftar di satu atau lebih Organisasi Kemanusiaan, itu tidak lebih hanya sebagai jalan untuk menyalurkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang aku pegang. Dan agar orang tahu bahwa aku tidak hanya berjuang atas nama Organisasi tertentu tetapi murni berasal dari ideologi pribadi, maka aku memutuskan untuk kemudian bergabung dengan Palang Merah Indonesia.

Di sini pulalah aku bertemu dengan ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang mengerti betul apa artinya berbagi. Di sini pulalah aku paham bahwa uang bukan segalanya. Banyak relawan-relawan PMI yang mengorbankan waktu, tenaga, uang dan bahkan keluarganya hanya untuk tugas Kemanusiaan. Di sini pulalah aku sadar betul bahwa setiap orang bisa menjadi relawan kemanusiaan. Kita hanya butuh menyisihkan waktu untuk belajar, dan yang terpenting menyisihkan ego untuk mau berbagi pada yang lain. Kita hanya dituntut mau kawan. Mau berbagi. Mau bekerja dan terjun ke lapangan.



Beberapa kejadian yang sempat terdokumentasi :



Kebakaran di daerah karang anyar

Aku dengan dr. Diaz saat kebakaran.

Suasana tegang.

Team yang solid.

Dokter yang bertugas saat acara khitanan massal PMI di Bulak Banteng

dr. Aam, dr. Dodo, dr. Rani, dr. Arifta, dr. Zul, dr. Andri

Bersama perawat-perawat berdedikasi tinggi.

Demikian testimoni saya untuk PMI, Terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah berbagi ilmu, telah berbagi segalanya, telah menjadi teman dan team yang solid di setiap penugasan.


Saya Andri Subiantoro, dr. Anggota relawan TSR PMI cabang kota Surabaya.






--bie--



Tidak ada komentar:

Posting Komentar