Senin, 20 Januari 2014

Gede Pangrango : Antara cinta, sahabat dan keindahan jiwa....


Semua langkah-langkah bersamamu serasa hidup mulai dimaknai...
kita lihat kawan, dengan kaki puncak-puncak tertaklukkan dan hati meninggikan ciptaan-Nya...
Diantara semangat, kerjasama, dan perasaan kesejatian terselip pemicu kebanggaan makna qolbu yang menggugah air mata keluar...
Hidup ini perlu dimaknai kawan, tidak untuk dituruti ataupun sedikit disesali...

(Kasyafani, 2013)

Sebuah kalimat indah dari seorang sahabat, mengawali sebuah cerita tentang perjalanan kami kala itu. Aku mulai membasuh wajahku dengan puing ingatan tentang waktu yang lalu. Mulai memandang langit untuk berpikir dan berdamai dengan rasa lelah. Menghantarkan kembali memori dan mulai menuliskan kembali saat ini. Menjadikannya indah dan layak untuk dikenang.

Seperti yang lalu, sebuah pendakian selalu bermakna bagiku. Aku memahaminya sebagai sebuah perjalanan hati. Di dalamnya terdapat ketenangan jiwa, kemantaban hati dalam bernuansa dengan alam yang damai, serta ketakutan diri yang alami. Seribu langkah kaki selalu bermakna dalam cinta, keberanian jiwa, dan mungkin sebuah pernyataan hidup. Kali ini, aku ingin menorehkan cinta dalam sajak berlatarkan keindahan ciptaan-Nya. Dalam balutan kabut tipis yang menerawang turun pelan-pelan di lembah kasih kata Soe Hok Gie, aku mulai bersyair dalam sunyi, dalam ingatanku yang dalam tentang Gede Pangrango yang eksotis.

Catatan pendakian kali ini berisi tentang pertemuan kembali dengan sahabat lama, dan pernyataan diri dalam cinta. Aku sendiri mendaki untuk istri dan anakku. Selain untuk menikmati kembali kecintaanku pada negeri yang indah ini, aku juga berusaha mencoba membayangkan bagaimana "Gie" melukiskan keindahan "Mandalawangi" dalam puisi cinta-nya yang mempesona. Sebuah cita-cita lama, yang akhirnya terpenuhi akhir tahun ini.

Matahari belum muncul, namun aku bergegas dari kamarku untuk segera mempersiapkan diri sebelum travel menjemputku. Pagi ini dari Muara Badak, aku akan menuju Balikpapan untuk kemudian terbang ke Jakarta. Sejenak meninggalkan kesibukan kerja untuk memenuhi janji, dan bertemu kembali dengan kawan lama.  Akhir tahun ini kami ingin mendaki Gede Pangrango. Aku sendiri, secara khusus hanya menargetkan Mandalawangi. Lembah yang selama ini ku kenal hanya dari puisi. 


Taman Nasional Gunung Gede Pangrango :

Gede Pangango

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Dengan luas 22.851,03 hektar, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan, hanya berjarak 2 jam (100 km) dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGGP, dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya.

Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah. Ketika anda hiking di kawasan TNGGP, anda dapat menikmati keindahan ekologi hutan Indonesia. (http://www.gedepangrango.org/tentang-tnggp)

Rombongan kali ini berjumlah 9 orang, termasuk aku sendiri yang berangkat dari Kalimantan. Rombongan yang lain berangkat bersama-sama dari Surabaya menuju Bandung dengan menumpang KA Ekonomi Pasundan. Aku sendiri tiba satu hari lebih awal di kota Bandung, dan mampir sejenak di rumah sahabat lama (Chandra dan Mbak Ning) di daerah Bumi Perkemahan Kiara Payung Jatinangor. Satu hari lebih awal membuatku bisa sedikit mengenal Kota Bandung, karena aku mengajak Chandra untuk mengantarkanku keliling Kota Bandung. Lumayan lah sebagai alternatif tempat wisata.

Gedung Sate

Jalan Dago

Institut Teknologi Bandung


Dari 8 orang yang berangkat, beberapa sudah kukenal akrab karena mereka adalah kawan lama. Kami sudah beberapa kali melakukan pendakian bersama dulu waktu masih kuliah. Tetapi beberapa teman, baru  kali ini kita bertemu. Inilah salah satu manfaat dalam sebuah pendakian gunung, kita dapat bertemu dengan orang baru, pribadi baru dan tentu saja relasi baru. Sepertinya ini juga bukan pendakian pertama bagi mereka. Tetapi kami semua memang baru pertama kali ini mengunjungi Gede Pangrango. Gunung yang agak ribet juga perijinannya. Hehehehehe....!!!!!

Sebenarnya pendakian akhir tahun ini boleh dibilang reuni kecil antara kami-kami yang sudah berpisah sejak lulus kuliah. Adalah Rezha teman SMA, sekaligus sahabat gunung yang sekarang mengabdikan dirinya sebagai Guru PNS di sebuah desa terpencil di Tuban. Kami melakukan beberapa pendakian di Arjuno, Semeru dan kali ini Gede Pangrango. Dalam hal ketahanan fisik dan ilmu survival, maka orang ini adalah salah satu yang terbaik. Kali ini dia mengajak serta adiknya Berryl, masih SMA kelas XII dan sepertinya tidak jauh2 dari kakaknya dulu sewaktu SMA.

Rezha and Berryl

Fawait "Al Afnan" Kasyafani, seorang yang sering menuliskan kata-kata puitis agak berbau filsafat. Kadang-kadang membingungkan dan sulit dimengerti (dalam hal ini aku dan istriku sepakat hehehe !!!) Tetapi merupakan salah satu sahabat gunung terbaik yang pernah ada. Pertama kali bertemu di Arjuno dan berlanjut ke gunung2 yang lain. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan S2 Kimia di ITS Surabaya. Seorang calon Dosen. Dalam pendakian kali ini, siapa yang tahu kalau dia akan menjadi satu diantara dua orang yang paling menjadi "Trending Topic" selama perjalanan.

Fawait
Berikutnya adalah Anang Nifsu Pradana, Adik kelas satu tingkat semasa kuliah di FK UNAIR. Seorang Analis Medis di Laboratorium Parahita Diagnostic Centre Gresik, dan seorang sahabat gunung sejati. Masih saja dengan keluhan yang sama tentang ceweknya dan bisa kusimpulkan sepertinya tidak ada perkembangan signifikan dari perjalanan cintanya. Kami mendaki gunung bersama mulai dari Gunung Lawu, Panderman dan Penanggungan. Kali ini kita akan bertemu kembali di Gede Pangrango. Kali ini Anang tidak sendiri, karena dia mengajak serta 3 orang temannya, Adi, Ferdinand dan Teguh. Sesama Analis Medis di FK UNAIR. Tiga teman baru yang sepertinya akan melakukan pendakian gunung lagi bersama kita kelak.

Suasana dalam kereta

Dalam pendakian kali ini aku mengundang adik kelas ku di FK UNAIR, Pramadita Nasution, Pend. Dokter angkatan 2011. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenalnya, tetapi dia mengenal beberapa teman dekatku sehingga mau tidak mau ya akhirnya kita kenal. Melihat kecintaanya pada gunung, mengingatkanku pada diri sendiri kala itu. Tapi setiap orang itu unik, tidak ada yang identik dan begitu juga Prama. Dia melakukan perjalanan ini dengan hati, sambil membawa misi dan keinginan akan sesuatu. Sedikit banyak satu lagi pribadi tangguh ku kenal. Teruskan perjuanganmu sampai kapanpun anak muda.

Pramadita

Kami memulai pendakian dari Jatinangor, naik bus jurusan Jakarta yang melewati puncak menuju Cibodas. Cibodas adalah salah satu pintu perijinan untuk mendaki Gunung Gede Pangrango. Malam sebelumnya, setelah lelah perjalanan dari Surabaya menuju Bandung dengan kereta, aku memang menyarankan rombongan istirahat sejenak di rumah teman yang sebelumnya kukunjungi. Chandra sebagai pemilik rumah juga tidak keberatan sehingga, kami pun bisa istirahat sejenak sebelum mendaki keesokan hari. Esoknya kita belanja logistik di pasar lokal Jatinangor, berbelanja di minimarket dan persiapan lain sebelum mendaki.

Mengenai logistik ini, aku punya sedikit cerita. Pasti kawan-kawan pendaki yang sudah berpengalaman mendaki banyak gunung juga punya pengalaman dan tentu saja pandangan yang berbeda mengenai logistik ini. Seperti kita tahu, salah satu kebodohan yang sering menyebabkan banyak pendaki mengalami kecelakaan bahkan kematian adalah manajemen logistik yang buruk, selain tentu sebab-sebab yang lain. Apalagi para pendaki pemula, anak-anak muda yang penuh tantangan, yang mendaki demi memuaskan hasrat jiwa, yang dengan persiapan apa adanya nekat mendaki gunung. Melupakan kaidah-kaidah penting dalam sebuah pendakian.

Dalam sebuah pendakian, banyak kita dapatkan para pendaki yang mendaki hanya dengan membawa mie instan. Membawa beras yang ditanak tidak sampai matang, alias masih keras. Ditambah sarden atau jenis makanan instan yang lain. Sebuah pendakian gunung merupakan sebuah kegiatan berat yang membutuhkan banyak kalori atau energi. Apa yang bisa didapatkan dari mie instan yang sifatnya sulit di cerna dan menarik air. Ini malah bisa membuat kita dehidrasi. Jenis makanan ini pula yang membuat kita seringkali tidak nafsu makan dan malah memilih tidak makan. Pada pendakian yang membutuhkan beberapa hari tentu ini adalah sebuah masalah. Tidak hanya fisik kuat yang dibutuhkan dalam sebuah pendakian, melainkan pikiran yang jernih, manajemen logistik yang baik dan tentu saja panjatan doa kepada Yang Maha Kuasa. Ingat, gunung tetaplah gunung yang penuh dengan segala misterinya.

Aku sendiri bukanlah pendaki yang tiba-tiba memahami semua ini. Aku mengalami semua fase mulai dari pertama kali aku mendaki gunung sampai akhirnya terulang pada beberapa pendakian selanjutnya. Mulai yang tidak tahu bagaimana cara packing yang baik, apa saja yang harus dibawa dan bagaimana saat kita tersesat di atas gunung. Sampai aku mulai menikmati betul kegiatan pendakian ini, aku sadar bahwa tidak sepantasnya kita mengabaikan hal-hal penting dalam sebuah pendakian, terutama dalam hal manajemen logistik.

Singkat cerita, aku memutuskan untuk mulai memasak meskipun di atas gunung. Sudah semestinya kegiatan yang menyenangkan ini disertai dengan kegiatan yang mengasyikkan pula, seperti memasak. (Maklum saya hobi memasak). Pagi itu, aku dan teman-teman membeli beberapa sayur, telur, tempe tahu dan beberapa bumbu seperti bawang lombok, tomat dan beberapa rempah-rempah. Tak lupa kita juga membawa gula garam, bumbu penyedap dan semua bahan yang diperlukan untuk memasak. Kami juga membawa nugget, sosis, cornet beef kalengan dan bahan makanan yang lain. Lihat kan, kita masih bisa memasak makanan yang tetap memenuhi standard kalori bahkan di atas gunung. Hanya masalah mau atau tidak mau.


Naik Angkot
Kami naik bus selama kurang lebih 4 jam, dan turun di pertigaan Cibodas. Dari pertigaan ini kami naik angkot untuk menuju pos lapor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perjalanan dengan angkot tidak terlalu lama, mungkin sekitar 15 menit. Sepanjang perjalanan kita disuguhi oleh banyaknya penjual bunga dan tanaman, serta penjual souvenir khas Cianjur. Sebagai informasi saja, selain sebagai pintu awal pendakian Gede Pangrango, daerah ini juga terkenal dengan kawasan wisata Kebun Raya Cibodas. Di dalamnya terdapat lapangan golf, taman bermain, dan air terjun. Sehingga selain para pendaki, daerah ini juga dibanjiri oleh pengunjung wisata lain.



Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. 
Kami katakan bahwa kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan. 
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. 
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. 
Dan mencintai Tanah Air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. 
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. 
Karena itulah kami naik gunung. 
(Soe Hok Gie) 

Sedikit semangat dari Soe Hok Gie bagi kami para pecinta kegiatan alam bebas terutama pendaki gunung. Adalah Indonesia dengan segala keindahannya yang wajib kita syukuri, dan semuanya itu tidak akan berguna kalau kita tidak mengunjunginya sendiri. Mencintai tanah air Indonesia hanya dapat diwujudkan dengan mengenal alamnya lebih dekat, dan semua ini hanya bisa terpenuhi oleh keadan fisik yang sehat, dan salah satu kegiatan yang menunjang tujuan ini adalah mendaki gunung.





Sepertinya kita terlalu sore sampai di Pos lapor, karena semua orang yang bertugas di sana sudah pulang. Jujur saja, aku baru tahu ini, kalau ada gunung yang perijinannya dijadwalkan. Lewat jam lapor, maka anda para pendaki bisa menunggu sampai besok. Pertanyaannya?? lalu bagaimana dengan kami yang datang jauh-jauh dari Surabaya, bahkan saya dari Kalimantan. Apakah kita harus menunda pendakian sampai esok hari ??. Aku adalah yang orang paling tidak setuju dengan rencana ini. Ingat kami adalah "Arek-arek Suroboyo", dan Arek-arek Suroboyo terkenal dengan "Bonek" nya. Bondo Nekat. Terus terang saja kami bisa nekat mendaki tanpa harus melapor. Tentu hal ini tidak dibenarkan, tapi kami datang jauh dari Surabaya, sangat tidak lucu hanya karena terlambat setengah jam kami harus menunda pendakian sampai esok hari. Sebenarnya banyak calo yang menawari kita untuk mengurus Simaksi (semacam surat ijin mendaki). Kami masih yakin bisa mendaki Gede Pangrango walau harus berangkat sore. Akhirnya kita memutuskan untuk mencoba tetap naik, dan melapor di Pos penjaga yang terletak lebih di atas. 

Sebenarnya Gede Pangrango baru saja berduka karena tepat sehari sebelum kita mendaki, ada insiden meninggalnya seorang siswi SMA yang mendaki bersama rombongannya. Shizuko lebih tepatnya namanya. Diduga Shizuko meninggal karena hipotermi atau kehilangan panas tubuh. Sayang sekali karena sebenarnya dia mendaki dengan jumlah rombongan yang besar ( 26 orang ) dan tidak ada yang menyadari bahwa anak ini dalam keadaan genting. Malah dikira kesurupan, padahal ini adalah salah satu tanda klinis hipotermia dimana seseorang akan mulai menurun kesadarannya. Lebih ironis lagi mendengar kabar bahwa dia ditinggal sendirian di tenda sementara teman yang lain mengejar summit. Entah berita ini benar apa tidak, yang jelas kalau ini benar maka tentu kejadian ini sungguh sangat disayangkan. 


Ketika tiba saat perpisahan janganlah ada duka, sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan.
(Kahlil Gibran)


Dari Pos pelaporan yang letaknya lebih di atas, kendala juga kami temui. Kami agak dipersulit perijinannya. Kami bertemu dengan para volunteer penjaga pos yang saya yakin juga pendaki gunung, tapi agak sombong dan arogan. Kami sama-sama mendaki gunung, kami datang jauh-jauh dari Surabaya, dan kami juga bukan tanpa ijin sebenarnya, karena SIMAKSI sudah kita kantongi hanya saja kita terlambat sampai  Cibodas. Sedikit perdebatan dan lobi-lobi akhirnya mereka mengijinkan kita dan kita bisa memulai pendakian tepat jam 5 sore. Terus terang baru kali ini aku mendapati gunung yang sangat ribet perijinannya. Meskipun pada akhirnya aku bisa memahami kenapa semua itu harus dilakukan, karena sepanjang perjalanan, kami  benar-benar disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa dan aku setuju kalau Gede Pangrango merupakan salah satu gunung terbersih yang pernah ku kunjungi.

Sore menjelang malam kami mulai berjalan pelan. Menapaki batu-batu yang tersusun rapi dan melewati rimbunan hijau daun yang sejuk. Diiringi kicauan burung yang merdu, dan senja langit yang lama-lama semakin menguning. Jalur pendakian kali ini benar-benar dapat mengobati kerinduanku akan rimba raya yang alami. Sungguh dapat mengusir kepenatan. 

Beberapa lama berjalan kami mendapati keindahan pertama dari kawasan Gede Pangrango. Sebuah Telaga. Dan bukan Telaga biasa karena telaga ini berwarna biru. Telaga ini mengandung beberapa mineral yang membuatnya nampak seperti berwarna biru. Kami beristirahat sejenak. Beberapa diantara kami mengambil gambar, beberapa yang lain hanya duduk sambil membasuh wajah dan merendam kaki. Aku sediri memilih membasuh kaki.


Aku melewati hutan-hutan
sambil memandang jauh
meletakkan sejenak penat dan rasa malas
melewati kerikil dingin
membasahi wajah ini dengan air Telaga Biru yang sendu
menenggelamkan sejenak 
sepasang kaki yang letih berjalan
menuju dahaga rindu di ujung matahari malu
yang terhampar luas bayangan mimpi dan janji-janji

(Bie, 2014)


Telaga Biru


Sampai satu jam perjalanan kami masih banyak menemui orang-orang yang sedang menghabiskan sore di kawasan ini. Jalur pendakian dibuat sangat baik untuk dapat dilewati masyarakat. Terdapat banyak muda-mudi yang mungkin sedang berpacaran dan aku kira sedang bosan dengan kehidupan kota. Rata-rata orang-orang ini mengunjungi air terjun Cibereum yang memang berada pada komplek TNGGP. Atau hanya sekedar menghabiskan sore di sebuah jalan landai, rata tersusun dari semen yang dibentuk seperti kayu, dan berada di daerah "Rawa Gayonggong". Sebuah rawa-rawa yang dikatakan juga merupakan salah satu daerah jelajah dari macan tutul dan Owa Jawa. Dari daerah ini dapat terlihat bayangan puncak dari Gunung Gede.


Rawa Gayonggong, dengan latar Puncak Gede

Lepas dari Rawa Gayonggong, suasana semakin sepi dan orang yang kami temui juga semakin sedikit. Mungkin karena senja sudah semakin dekat dan malam pun mulai menjemput kami. Guratan langit yang menguning sebelumnya pun mulai pudar tergantikan oleh gelap walau masih samar. Masih dengan suara khas daun-daun yang tertiup angin, suara-suara hewan alas, dan sahutan merdu burung-burung bebas. Kami melanjutkan perjalanan. Menerobos malam, menjemput bintang. Sambil sesekali bercanda dan beristirahat jika memang lelah. Sesekali pula kami berpapasan dengan rombongan pendaki yang turun dan akan kembali ke pos awal.

Lama tidak mendaki membuat ketahanan tubuhku tidak sekuat dulu. Punggung ini walau masih merasa sanggup membawa Carrier 60 liter tapi nafas sudah mulai berkurang. Namun kerinduan yang dalam ini mampu mengalahkan segala hal saat itu. Setelah beberapa jam berjalan dan hari yang semakin gelap. Kami yang sedari tadi berjalan akhirnya sampai pada keindahan kedua dari Gede Pangrango. Pos "Air panas".

Menakjubkan, hanya itu yang terucap dalam hati saat aku sampai pada pos ini. Di tengah dinginnya malam, dan kami harus terus berjalan untuk mendapati pos selanjutnya, tiba-tiba kami disuguhkan sebuah tempat spa alami langsung buatan Tuhan. Aku tidak melewatkan untuk sedikit berendam air panas di situ. Bahkan Rezha dan adiknya Beryl malah memutuskan untuk mandi bertelanjang bulat. Sempurna sudah malam ini, ditemani bintang yang bertaburan di langit dan aroma air panas yang sungguh mengusir lelah kami akibat berjalan beberapa jam sebelumnya. Kami memutuskan berlama-lama di tempat ini.

Hampir setengah jam di Pos Air Panas, kami melanjutkan perjalanan. Ternyata selang beberapa saat kemudian kami sampai di Shelter pertama Jalur Pendakian ini. Pos Kandang Batu. Kami istirahat sejenak, sambil berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan atau memutuskan untuk mendirikan tenda di sini. Awalnya kita memang berniat untuk mendirikan tenda di pos Kandang Badak, tapi sepertinya di sana lahan sudah penuh dengan para pendaki sehingga kami memutuskan untuk menginap di Pos Kandang Batu.


Rombongan Lengkap di Pos Kandang Batu


Pagi-pagi kami mulai bangun dan memasak untuk bekal energi perjalanan hari ini. Kami menargetkan Mandalawangi hari ini. Teoritis untuk sampai ke sana dibutuhkan waktu 3-4 jam dari Kandang Badak. Jika kami berangkat dari Kandang Batu maka mungkin waktu yang diperlukan sekitar 4-5 jam. Dari mandalawangi kami akan langsung turun dan menginap di Pos Kandang Badak. Esoknya kami akan mengunjungi Puncak Gunung Gede. 

Pagi itu kami sarapan nasi putih, sayur sawi dan kecambah, dengan lauk tempe tahu dan telur dadar. Cukup bergizi mengingat kami di atas gunung. Setelah sarapan, kami bersiap melanjutkan perjalanan dan dengan semangat pagi ini kami siap menyambut keindahan-keindahan lain dari Gede Pangrango. Sebelum berangkat, tak lupa kami berfoto dulu di Pos Kandang Batu. 

Masih dengan hijaunya daun dan suara berisik ranting pohon yang bersentuhan satu sama lain karena angin, kami menapaki jalan setapak berbatu. Terkadang landai dan tak jarang pula kami harus melawati tanjakan. Dengan beban di masing-masing punggung, kami bersuka ria menikmati alam ini. Sambil bercanda, mengolok dan sesekali menertawakan satu sama lain, perjalanan ini serasa ringan. Dan benar saja, karena sejenak saja kami berjalan dari Kandang Batu, kami kembali diistimewakan oleh satu lagi keindahan Gede Pangrango. Keindahan ketiga yang kami temui adalah sebuah Air Terjun. 

Sebuah Air Terjun yang indah, sejuk, sepi dan deras airnya benar-benar meluluhkan hati, membuat siapa saja yang mendapatinya pasti enggan melewatkan keindahan ini. Air Terjun Pancaweuluh. Aku tidak tahu artnya, tapi rasanya memang sayang untuk melewatkan air terjun ini. Aku memutuskan untuk menyusul teman-teman yang lain dan sekali lagi membasuh wajahku dengan airnya yang jernih.








Bersambung ......


Tidak ada komentar:

Posting Komentar